Jumat, 23 Oktober 2020

Asimtot

Hari ini aku memilih untuk pergi menemani ayah ke kampung halamannya. Kali ini aku mengalah untuk tidak ikut pergi berlibur dengan teman-temanku. Entah, aku tidak tahu apa yang merasuki ku, padahal ayah pun tak masalah jika aku tidak ikut pergi dengannya.

Pesawatku tiba di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II pukul 18.38 waktu setempat. Terlambat satu jam dari waktu yang diperkirakan, akibat delay. Baru saja turun dari eskalator handphone-ku dihujani belasan pesan.

"REES LO DI PALEMBANG??", Ian tanpa ampun memborbardir pesan di handphone-ku.

Aku heran. Lupa kalau aku sempat update twitter sebelum take off tadi. "Iya, elah, kenapa? Baru landing gua".

"DIMANA???", Ian terus memburu jawaban dariku, "GUA DI PALEMBANG JUGA".

Terjawab sudah keherananku. "Mau ambil bagasi. Capslock lo jebol ya? Santai aja. Terus kenapa kalo lo di Palembang juga?"

"KETEMU SEBENTAR GUA KANGEN".

"Ngigo ya lo? Baru juga libur semester satu minggu. Baru satu minggu ga ketemu, Ian".

"GUA TETEP KANGEN. BURU! GUA DI BANDARA JUGA".

Aku melongo. Entah karena tau dia sedang di Bandara juga atau karena dia rindu denganku padahal belum lama bertemu. "Hah? Lo baru sampai sini juga? Kita di penerbangan yang sama?", tanyaku masih sangat bingung.

"BUKAN. Mau balik Jakarta nih, gua lagi nunggu boarding. CEPET AYO KETEMU SEBENTAR, RESSS!".

Aku menggelengkan kepala, masih berusaha mencerna cerita ini. Namun, aku memutuskan untuk menyutujui pertemuan aneh di Bandara ini. "Ketemu dimana, gua izin sebentar sama ayah", balasku.

"GUA TELEPON!".

Selanjutnya aku terus berlari kesana kemari berusaha mencari Ian, sampai akhirnya ayah meneleponku bahwa paman sudah menunggu kami di Parkiran.

"Ian, sorry, jemputan gua udah nunggu dari tadi, ketemu lagi di Jakarta ya. Safe flight :)". Bagian membingungkannya lagi aku mengirim pesan itu sambil menelan kekecewaan.

"Gua juga udah mau boarding, have fun here ya, Res. See you".

Setelahnya aku berusaha mencerna semua rencana semesta barusan. Orang yang paling aku tunggu pesannya seminggu terakhir ternyata bukan hanya mengirimiku pesan hari ini, Ia merindukanku dan berada di kota yang sama.

Sekarang aku berpikir, apa jadinya jika kemarin aku memutuskan untuk tidak ikut pergi dengan ayah? Apa jadinya jika pesawatku tidak delay? Apa mungkin rindu kami akhirnya bebas? Bagimana jika aku memutuskan untuk tidak bermain twitter hari ini? Apa Ian mungkin memutuskan untuk tidak mengirimiku pesan?

Namun ternyata semesta memang suka bercanda. Bagian paling lucunya dari semua ini, bahkan di Bandara yang sama serta di waktu yang sama, itu semua masih tak cukup untuk mempertemukan kita. Bahwa setelah cerita ini pun, ternyata kami tidak pernah diperuntukan bertemu di satu titik bahkan di hari-hari berikutnya.
Share:

Selasa, 20 Oktober 2020

Hirup Ambisi yang Tak Tidur.

"Ra, gabisa berhenti dulu kerjanya? Badanmu itu butuh istirahat, sudah sampai diberi selang di tangan begitu masih saja beresin urusan kantor", tanya mama panjang sambil masuk kamar rawatku.

"Gapapa, ma, ada yang urgent, harus di kirim malem ini. Aku juga udah gapapa kok", aku tersenyum sebentar, lalu kembali menatap layar laptopku.

Sekilas kulihat mama hanya menggeleng, dan lanjut merapikan bawaan dari rumah. "Ini mama bawa beberapa salinan, sama ada buah, kamu makan ya. Besok mungkin sore baru mama ke sini lagi".

"Iya ma", aku hanya menyahut sekenanya tanpa mengalihkan pandanganku dari layar.

"Tidur, Ra, istirahat. Mama pulang dulu yaa". Mama mengelus kepalaku.

"Selesai ini Rara istirahat, Ma. Mama hati-hati ya nyetirnya, selamat malam". Aku menerima elusan mama, dan melihat mama pergi.

Aku melihat keluar jendela kamar, tak ada bintang di langitnya. Gantinya gemerlap lampu yang akan terus menemaniku sepanjang malam tak ada habisnya. Sudah pukul 10 malam saat e-mail ku kirim, tapi jalan di bawah sana masih dipadati ratusan kendaraan yang entah sampai kapan akan berhenti.

Aku rasa kota ini tidak pernah tidur. Apa manusia di dalamnya juga tidak tidur?. Seperti aku sebulan terakhir bekerja siang-malam sampai akhirnya aku terbaring dengan selang dan tetes IV di sini.

Aku menghela napas. Lalu tak lama tenggelam dalam jutaan lampu dan mimpi di kota ini, hilang hingga matahari menyeruak di kemudian hari.

"Ra, udh sarapan?". Hari ini giliran Kak Ardi yang menjagaku. "Kamu pagi-pagi yang dipegang hp sama laptop duluan ya, Ra? Ini sarapan udah ada yang kamu makan?".

"Kak, nanti Rara makan, udah deh gausah bawel, aku mau ngirim lampiran kerjaan sebentar, nanti aku makan semua".

"Kamu tuh kerjaan terus yang diperhatiin, apa sih yang kamu kejar, Ra?".

"Bentar aja, Kak".

"Nih, kakakmu di sini lagi ngomong aja ga dikasih perhatian", Kak Ardi terus berbicara tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali dari ku.

Begitu e-mail untuk meeting hari ini selesai aku buru-buru menatap kakaku yang berdiri heran sejak tadi. "Sekarang perhatian Rara buat Kak Ardi. Jadi mau bilang apa kakakku sayang?".

Kak Ardi melangkah merapikan meja untuk aku sarapan, "Ra, kakak paham kerjaanmu penting. Ambisimu besar. Tapi, Ra, bukan itu saja yang butuh perhatianmu. Badanmu juga, kesehatanmu. Kakak sedih loh liat adik kakak tidur di rumah sakit gini".

Aku melihat mata Kak Ardi, matanya sedih. "Aku gapapa, Kak. Ini aku sudah mendingan". Aku tersenyum berusaha meringankan kekhawatiran Kak Ardi.

"Ra, ambisimu ga akan mati kalo kamu istirahat, sebaliknya kamu yang bisa kenapa-kenapa kalo kamu ga istirahat. Seperti sekarang, dan kakak gamau itu. Istirahat sebentar, nanti kejar lagi ambisimu kalo kamu sudah sembuh, ya?", Kak Ardi mengelus lembut kepalaku.

"Aku cuma takut tertinggal aja kak dari yang lain, progres, hidup semua", kataku sambil mengunyah kentang yang masih saja hambar di mulutku.

Kak Ardi menggeleng, "Ra, gausah semua kamu pikirin, otakmu tuh capek nanti. Lagian gaada yang ninggalin kamu. Kakak, Mama, Papa, di sini terus kok. Gaada yang ngejar atau nuntut kamu untuk melakukan apa pun, pelan-pelan aja".

Aku mengangguk. Mungkin benar aku butuh istirahat. Aku di sini juga mungkin karena sebulan terakhir aku mengusahakan semuanya untuk ambisi yang aku tak tahu kapan habisnya.

Hirup kota ini adalah ambisi. Rasanya aku akan tertinggal jika aku berhenti ketika melihat gemerlap kota ini beserta isinya tidak berhenti bekerja. Aku lupa bagian pentingnya, tidak ada yang sedang mengejarku. Aku lupa untuk ikut menghirup napas ku, mengambil jeda. Aku lupa, waktu adalah milikku bukan jutaan orang lain yang tinggal di gemerlap kota ini.
Share:

Senin, 12 Oktober 2020

Melawan Doa dengan Doa.

Aku dituntun oleh Dikta dan Alan masuk ke dalam ruangan yang entah apa isinya. Mataku tertutup kain. Kaki meraba lantai, terus menabrak sesuatu entah apa di bawah. Begitu kain di mataku dibuka dan masih beradaptasi mulai terdengar riuh tepuk tangan dan lagu selamat ulangtahun yang aku juga tak tahu siapa pengarangnya.

Aku tersenyum. Begitu melihat teman-temanku di ruangan itu. Adrian memegang kue dengan lilin yang menyala. 

"Tiup lilinnya, Ray", seru Adrian.

Masih diiringi lagu selamat ulangtahun, aku berdoa, lalu meniup lilin itu, diiringi tepuk tangan dan senyum manusia satu ruangan.

"Kalian apa sih? Udah bukan anak kecil kali pakai surprise segala begini", kataku sembari menerima pelukan Tara.

"Ga apa-apa kan, Ya, sekali-kali", Tara cemberut sembari merangkul lenganku.

"Benar, kata Tara, Ray, ga apa-apa lagi, kita cuma mau liat lo bahagia", Dikta menimpal.

"Betul. Panjang umur, ya, Raya, sehat selalu, bahagia selalu", Adrian tersenyum mengusap kepalaku.

Senyumku hilang sesaat setelah Adrian menyelesaikan kalimatnya. Namun buru-buru kuganti dengan senyum yang lain.

"Iyaa, aamiin", lanjutku untuk setiap doa-doa yang mereka panjatkan untukku.

"Tadi pas mau tiap lilin kamu make a wish dulu kan, Ya?", celetuk Alan.

"Iya lah, emang lo ga liat apa? Keasikan nyanyi sih ya lo?".

"Enak aja. Habis, lo cepet bgt doanya".

"Ngapain lama-lama, gua kan ga banyak mau".

"Ya, emang kamu minta apa?", tanya Tara. Matanya berbinar.

Aku diam sebentar. "Ra-ha-si-a", aku tersenyum jahil, dan segera mengalihkan ke topik lain, "mau ngobrol terus apa mau lanjut makan kue nih?".

"Oiya, Ray, ayo potong, kue spesial buat kamu yang ga suka manis pilihan aku", Tara mengucapkannya dengan bangga, dan merangkulku kembali.

Aku lega mereka tidak lagi membahasnya, harapanku itu.

Adrian mengangkat gelas berisi cola mengajak bersulang, "untuk Raya, umur yang panjang, dan persahabatan yang langgeng". Disambut dentingan gelas kami.

Aku tersenyum, melihat satu per satu wajah berseri sahabat-sahabatku ini. Aku rasanya tidak mau mengecewakan mereka. Aku menghela napas memikirkan setiap doa yang mereka semogakan untukku hari ini, selama ini.

"Panjang umur. Harapan", gumamku.

Aku tak bisa bilang tentang doaku sebelum lilin itu kutiup. Karena doa-doaku hampir selalu bertentangan dengan mereka.

Panjang umur, sehat selalu. Kalimat itu berdengung terus menerus di kepalaku. Bagian paling ironisnya adalah yang aku semogakan justru sebaliknya. Sebelum lilin itu kutiup, atau bahkan setiap malam sebelum tidur, setiap subuh, dan setiap petang aku berdoa, "Tuhan tolong hilangkan saja aku dari Dunia, apapun caramu".
Share:

Sabtu, 10 Oktober 2020

Self-Reflection: 24.

The privilege of a lifetime is to become who you truly are (Carl G. Jung).

***

Dear self, stay with me for another year, I'm not finish loving you. 

As we grow old, I realize loving ourselves is the most luxury thing we can ever have. That time we can finally be proud and smile while telling yourself "I love myself more, no one can ever stop me" is the highest place we can ever stand. It's something seems easy but impossibly hard to reach.

I'm alone keep going back and forth when trying to reach it. Keep having love-hate-hate relationship with myself, no lie. Self love is luxury, when everything keep crashing down day by day. Like, wow, life's so cruel. Life's hard, but should we be hard on ourselves too?. It always such a privilege to have that unconditional love of self.

In this chaotic condition I think loving myself will be everything I need for now to keep my sanity on track. Not gonna lie I'm still so far to take that crown. Just this past 3 months alone part of myself constantly shouting I hate myself everytime I open my eyes. The storm inside me just keep raging without I even know how to shut it down. My head is dangerous, let alone the whole part of myself. I have all those worst scenarios and wishes. It's hard to just recognize the form of loving myself. How it feels like? I've been longing for it. Because wow it's always feel suffocating here.

Every people have something to calm themselves from the storm they are in. It could be anything; songs, books, words, drinks, foods, pets, or even nature. As for me, strolling around would do the trick. But, since the condition still not good enough to let me out to have my random walk, my coping mechanism isn't working well. So, I back to some songs and this one book that could help me keep walk on the storm that still raging. And I let some of my energy out to write something. So after all the process did I finally come to love myself? Hahaha, no, I just realize that it's important. I still so far to be claimed I love myself. I still beat myself for many things, hate myself for my flaws, overthink all the things have happened. But as I finally have the courage to release all this words, I know I'm learning to love more. Take step by step again and again to claim that luxury thing.

Though I'm still so far, just for today (at least) I want myself to be free (even a bit) to take the universe blessings as a gift for myself. Let it give every good things, because myself can't resist anymore. Taking more rest than I deserve. Fill my self with more love than I ever give before. Embracing whatever color that I have than I ever did. Blessed day, self, universe still loves you. It gives you another chance to try.

To end this words, I believe one thing, maybe not everyone want to stay with you, but your own self will always stay. Treat yourself well. #24

Happy world mental health day, everyone!
Share:

Jumat, 11 September 2020

MALANG: Usaha dan Harapan, 6 Tahun Lalu

Malang 2014, jadi saksi mata bahwa hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Kota ini jadi saksi tangis bahagia pecah setelah usaha, tawakal, dan doa diramu bersama semesta. Bahwa tak ada lelah yang tidak berbayar.

Semesta tau yang terbaik. Karma itu ada. Semesta itu adil.

Malang jadi destinasi terakhir dalam sebuah pencarian panjang 6 tahun lalu. Sudah siap dengan segala kemungkinannya. Sudah pasrah. Besok adalah usaha terakhir sebelum kuserahkan sisanya pada semesta dan Tuhan.

Matahari baru benar-benar tenggelam waktu itu. Aku dan Ibu menunggu makanan kami dibuat di samping gerobak makanan. Hari itu pengumuman tes mandiri salah satu universitas pilihan Ibu.

Datang sehari lebih awal ke kota ini dengan harapan untuk semuanya berjalan dengan baik dan semestinya. Besok adalah tes masuk universitas tetakhir yang harus kuikuti.

Sambil menunggu makanan kami selesai dibuat aku membuka pengumuman itu. Setelahnya yang aku ingat aku hanya menangis memeluk Ibu. Selamat, hanya satu kata saja yang kubaca, dan itu sudah cukup.

Malam itu hanya awal. Semesta bekerja sebagaimana kita berbuat. Semesta memang suka bercanda, tapi hari itu candaannya membahagiakan. Jangan menyerah dulu, begitu kata semesta, usahakan dulu dengan baik, sisanya bagianku.

Benar saja, sisanya hanya bagian untuk bersyukur. Malang, 6 tahun lalu, adalah sebuah pengingat bahwa lelahnya usaha yang baik akan selalu terbayar dengan hal yang baik. Malang selalu indah dengan ceritanya.

Di satu tahun berikutnya dan 3 tahun berikutnya, Malang jadi pengingat bahwa persahabatan bisa dimulai dari mana saja dan bertahan sebagaimana kita mengusahakannya. Sekali lagi Malang mengingatkan tentang usaha yang baik, bahwa semesta itu baik.
Share:

DENPASAR: yang terus disemogakan.

Semesta, ada orang yang aku sayang di kota ini.

Denpasar. Ah mendefinisikannya saja aku bingung. Rasanya indah saja tidak cukup. Rasanya kota ini sudah saja langsung mengambil semua rasaku. Sebatas ingin yang sulit sekali tergapai.

Jatuh cinta itu ya jatuh saja. Tak perlu melihat. Tak perlu mendengar. Mengerti saja seperlunya. Kenyataan bahwa ia ada saja cukup.

Denpasar.
Semesta, di kota ini ada orang yang kusayangi. Aku sayang dia, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya, melihat wajahnya saja hanya dari foto. Aku tidak pernah mendengar suaranya, apalagi kugenggam tangannya. Sosoknya semu, tapi sampai sekarang pun aku tetap rindu. Dia yang tak akan pernah kugapai, yang tidak pernah menganggapku ada.

Sama seperti kota ini, semesta, dia sangat sulit kugapai. Sangat sulit untuk diwujudkan.

Denpasar, terdengar berbeda jauh setelah aku mengenalnya. Terasa berbeda bahkan saat aku tak pernah berada di sana. Sama seperti Denpasar, dia, dan Rasa ini adalah ketidakmungkinan yang terus menerus aku semogakan saat ini.

Semesta, tolong aku.
Share:

Senin, 07 September 2020

PALEMBANG: 7 Tahun Lalu.

Palembang, 2013. 7 tahun lalu. Lebih tepatnya Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II setelah matahari terbenam.

Kota kelahiran Papa. Namun, aku selalu merasa asing. Karena tidak banyak kenangan yang aku ingat di sini. Sampai aku tiba di kota ini 2013 silam.

"REES LO DI PALEMBANG JUGA?", Ian tanpa ampun memborbardir pesan bbm ku kala itu.
"Iya elah, kenapa?", aku heran. Baru saja landing, tapi hp ku sudah berisik sekali. "Gua baru landing, mau ambil bagasi dulu".
"GUA LAGI NUNGGU BOARDING! PLEASE KETEMU SEBENTAR, KANGEN".

Cerita itu diakhiri dengan aku dan dia berlari ke sana kemari di bandara, tapi tak pernah saling bertemu di sana. Kami terpaksa berhenti, karena dia harus segera boarding, sedangkan jemputanku sudah menungguku.

Tapi cerita sederhana itu menghasilkan sebuah perjalanan yang tak terlupakan untuk kota ini. Tidak lagi.

Cerita tentang waktu dan kepergian. Tentang luas dan indahnya kesabaran. Tentang kehangatan secara tersirat dan tersurat.

Tidak dipelajari dalam satu waktu itu. Tapi di setiap kali aku datang ke sana, di setiap waktu aku menginjakan kaki di bandara yang sama, atau melintasi Jembatan Ampera untuk kesekian kalinya.

Palembang adalah kota lain dengan kehangatannya. Kehangatan dengan semangkuk pempek di pagi hari yang selalu tersaji dari dapur rumah dengan bonus senyuman lemah lembut.

Palembang, 7 tahun kemudian, aku yakin sudah jauh berbeda. Bahkan di 2013 pun kota itu sudah jauh berbeda dari yang kuingat terakhir kali. Meskipun begitu aku yakin setiap waktunya semenjak itu menjadikan sebuah waktu dan kenangan yang berharga juga, karena bersamanya aku pun tumbuh.
Share:

A Game We Will Never Win.

We're both playing a game we know we can't win, but somehow we can't stop too.

Aku bukan main berpikir kita harus berhenti, Wir. Aku tahu kita hanya pura-pura, tapi bukan kah permainan ini sudah terlalu jauh untuk dimainkan?.

4 bulan, Wir. Bukan waktu yang sebentar.

Aku harus mengakuinya atau mengakhirinya seorang diri.

***

"Aku rasanya sudah tidak percaya lagi dengan orang lain, Wir, semenjak dia meninggalkan aku untuk memilih orang lain. Kamu tahu kan rasanya?", aku menghela napas panjang. Aku tahu dia paham.

"Aku paham, Ray", Wira membalas pesan singkatku, "aku juga baru saja mengalaminya, tapi, Ray, kamu tahu apa yang lebih sakit dari itu?".

Aku menunggu. Bodohnya aku ini, kami kan tidak saling bertatap muka, bagaimana dia tau aku sedang bergeleng menunggu jawabannya.

"Masih ada yang lebih sakit?", balasku. "Oh! Cinta beda agama".

"Ya, Ray, dan satu lagi, hubungan yang tidak direstui keluarga".

Aku tersenyum. Dia tahu banyak. "Pengalaman ya, Wir? Hahahahaha".

Wira memberi simbol tersenyum, dilanjutkan kalimat, "kurang lebih, Ray".

Seperti kita ya, Wir?, pikirku getir.

***

"Kita ini apa sih Wir sebenarnya?", kalimat itu tak pernah sampai hati aku tanyakan langsung. Hanya terus menggantung dipikiranku.

We both playing dangerous game here. We know, but we can't stop.

"Babe, u not rest?", pesan masuk Wira saat melihatku masih online.

"Later, babe. You can go rest first, I think Im gonna sleep a bit late", jawabku.

"Okay then, I go sleep, cyaa tomorrow. Goodnight baby! Luv!".

"Nite, luv".

We really shouldn't do this, Wir. This is dangerous play. You and me.

But, somehow I can't stop. It's pleasant and comfortable to be with you, I start to lose how to control my feelings and greed.

***

"Kalau kamu udah ada yang jaga, Ray, aku gabisa pakai panggilan babe lagi dong ya ke kamu?", Wira menggodaku.

Kita banyak berkirim pesan sejak memutuskan untuk berteman di salah satu game.

Aku tertawa. "Hahaha, aku bisa jaga diriku sendiri, Wir".

"Masih tetap butuh orang lain kan, Rayaa?".

"Hehe, masih. Tapi kamu juga lagi jaga aku kan ini?".

"Iya, Ray, tapi hanya sebagai temanmu kan, bukan orang yang spesial?"

"Teman juga orang yang spesial, Wiraaa".

"Teman apa yang spesial, Ray? Aku gamau ah merusak pertemanan kita".

Aku tertawa getir. "Hahahaha iya, Wir, aku juga masih mau dekat denganmu, jangan jadi musuhku ya?".

"Ray, ray, ya ngga lah", balas Wira menenangkan. "Btw, Ray, jangan lupain aku ya kalo nanti kita sudah sama-sama berhenti dari game ini?".

"Iya", aku tersenyum tipis.

Which game do you mean, Wir?.

***

We cant continue doing this game. This is dangerous.

Kamu tahu, jatuh cinta paling sakit adalah jatuh cinta dengan hamba Tuhan yang berbeda.

Itu kita, Wir. Kita.

"Hanya aku ya yang merasa seperti ini? Menahan rasa. Kamu bagaimana, Wir?".

And I start to lose control of my feelings to not fall for you.

Still we proceed to play along.
Share:

YOGYAKARTA: 23 Tahun dalam kenangan.

Yogyakarta, 2019. Masih sama. Malioboro masih ramai seperti dulu. Kopi jos dan angkringannya masih hangat seperti dulu. Merapi masih gagah seperti terakhir kulihat. Rasanya? Tentu saja berbeda, namun kenangannya masih di sana. Hidup. Terus hidup. Entah sampai kapan.

Yogyakarta tiap sudutnya adalah kenangan. Sedih, senang, kecewa, bahagia, marah, lelah, rindu, semuanya masih lengkap di sana.

Kalau mereka protes Yogyakarta tidak seindah itu terlihat. Ya, tidak apa-apa. Aku tidak menyalahkan mereka. Definisinya kan relatif, tidak statis.

Bagiku Yogyakarta masih sama. Kota sejuta kenangan. Tiap sudutnya masih sama.

Yogyakarta 20 tahun yang lalu hingga saat ini hanya terus bertumbuh. Tumbuh bersama kenangan yang ikut terpupuk tumbuh di sana. Bersama waktu sampai nanti ia abadi di sana, di setiap sudutnya.

Sekali pun banyak yang berubah, aku yakin, Yogyakarta dan segala waktu yang pernah hidup di dalamnya akan tetap abadi.
Share:

Sabtu, 05 September 2020

YOGYAKARTA

Yogyakarta. Bukan kota kelahiranku, bukan kampung halamanku, bukan kota tempatku tinggal, bukan juga kota tempatku mengemban ilmu, bukan kota dimana aku temukan cinta pertamaku, dan akhirnya berkeluarga. Bukan. Bukan itu semua.


“Kenapa harus Jogja, mbak?”, Mama bertanya heran. Aku terdiam, pikiranku menerawang. Mungkin beliau tidak habis pikir bagaimana aku masih sangat ingin pergi ke sana biarpun setiap sudut kotanya sudah hampir khatam ku jelajahi. Lagipula percobaan untuk menetap di sana dengan mengambil salah satu jurusan kuliah di kota itu pun sudah kandas.


Jawabannya memang tidak pernah sederhana. Terlalu banyak cerita di sana, yang aku yakin tak ada satu orang pun akan paham hal itu. “Karena Jogja rumah, Bu”, kalimatku hanya sampai di situ. Beliau tidak tahu berbagai emosi dan memori tiba-tiba menyeruak.


***


“Karena Jogja punya semuanya. Sebuah rumah, rasa sedih, rasa rindu, rasa senang, kehangatan, bahagia, perpisahan, air mata, tawa, keindahan, dan kenangan. Semua yang pernah kumiliki ada di sana”, pikirku.


Yogyakarta adalah dimana aku hidup. Banyak kali pertama di sana, sebanyak kali terakhir yang kualami  juga di kota itu.


Kali pertama kakekku mengajakku jalan-jalan dan menunjukkan siluet gunung di kejauhan, Merapi namanya. Kali pertama kakekku menunjukkan bahwa buku bagus tidak harus selalu berada di toko paling bagus juga. Kali pertama aku merasa dicintai oleh laki-laki yang juga aku cintai. Kali pertama diajarkan bahwa rumah bukan hanya tentang bangunan tapi juga perasaan.


Yogyakarta adalah kota dengan kenangan di setiap sudutnya dan di setiap waktunya.


Aku ingat berjalan disebelahnya menyusuri jalan malioboro di bawah langit malam, sesaat kemudian di sambut hujan. Makan angkringan di sudut alun-alun, ditemani kopi hangat dan renyahnya tawa orang yang kusayangi itu.


Atau, cerita menyedihkan di RS Dr. Sardjito. Ketika aku terpaksa menunggu di luar, menunggu kabar tentang nenekku yang terbaring di dalam sana. Cerita menyedihkan lain tentang patah hati ketika aku akhirnya harus melepas cita-cita terbesarku di kampus dan jurusan impianku sejak SMP.


Masih banyak lagi. Ya, karena sejatinya Jogja bukan hanya terbuat dari kenangan, lebih dari itu. Selalu lebih dari itu.


Share: