"Ra, gabisa berhenti dulu kerjanya? Badanmu itu butuh istirahat, sudah sampai diberi selang di tangan begitu masih saja beresin urusan kantor", tanya mama panjang sambil masuk kamar rawatku.
"Gapapa, ma, ada yang urgent, harus di kirim malem ini. Aku juga udah gapapa kok", aku tersenyum sebentar, lalu kembali menatap layar laptopku.
Sekilas kulihat mama hanya menggeleng, dan lanjut merapikan bawaan dari rumah. "Ini mama bawa beberapa salinan, sama ada buah, kamu makan ya. Besok mungkin sore baru mama ke sini lagi".
"Iya ma", aku hanya menyahut sekenanya tanpa mengalihkan pandanganku dari layar.
"Tidur, Ra, istirahat. Mama pulang dulu yaa". Mama mengelus kepalaku.
"Selesai ini Rara istirahat, Ma. Mama hati-hati ya nyetirnya, selamat malam". Aku menerima elusan mama, dan melihat mama pergi.
Aku melihat keluar jendela kamar, tak ada bintang di langitnya. Gantinya gemerlap lampu yang akan terus menemaniku sepanjang malam tak ada habisnya. Sudah pukul 10 malam saat e-mail ku kirim, tapi jalan di bawah sana masih dipadati ratusan kendaraan yang entah sampai kapan akan berhenti.
Aku rasa kota ini tidak pernah tidur. Apa manusia di dalamnya juga tidak tidur?. Seperti aku sebulan terakhir bekerja siang-malam sampai akhirnya aku terbaring dengan selang dan tetes IV di sini.
Aku menghela napas. Lalu tak lama tenggelam dalam jutaan lampu dan mimpi di kota ini, hilang hingga matahari menyeruak di kemudian hari.
"Ra, udh sarapan?". Hari ini giliran Kak Ardi yang menjagaku. "Kamu pagi-pagi yang dipegang hp sama laptop duluan ya, Ra? Ini sarapan udah ada yang kamu makan?".
"Kak, nanti Rara makan, udah deh gausah bawel, aku mau ngirim lampiran kerjaan sebentar, nanti aku makan semua".
"Kamu tuh kerjaan terus yang diperhatiin, apa sih yang kamu kejar, Ra?".
"Bentar aja, Kak".
"Nih, kakakmu di sini lagi ngomong aja ga dikasih perhatian", Kak Ardi terus berbicara tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali dari ku.
Begitu e-mail untuk meeting hari ini selesai aku buru-buru menatap kakaku yang berdiri heran sejak tadi. "Sekarang perhatian Rara buat Kak Ardi. Jadi mau bilang apa kakakku sayang?".
Kak Ardi melangkah merapikan meja untuk aku sarapan, "Ra, kakak paham kerjaanmu penting. Ambisimu besar. Tapi, Ra, bukan itu saja yang butuh perhatianmu. Badanmu juga, kesehatanmu. Kakak sedih loh liat adik kakak tidur di rumah sakit gini".
Aku melihat mata Kak Ardi, matanya sedih. "Aku gapapa, Kak. Ini aku sudah mendingan". Aku tersenyum berusaha meringankan kekhawatiran Kak Ardi.
"Ra, ambisimu ga akan mati kalo kamu istirahat, sebaliknya kamu yang bisa kenapa-kenapa kalo kamu ga istirahat. Seperti sekarang, dan kakak gamau itu. Istirahat sebentar, nanti kejar lagi ambisimu kalo kamu sudah sembuh, ya?", Kak Ardi mengelus lembut kepalaku.
"Aku cuma takut tertinggal aja kak dari yang lain, progres, hidup semua", kataku sambil mengunyah kentang yang masih saja hambar di mulutku.
Kak Ardi menggeleng, "Ra, gausah semua kamu pikirin, otakmu tuh capek nanti. Lagian gaada yang ninggalin kamu. Kakak, Mama, Papa, di sini terus kok. Gaada yang ngejar atau nuntut kamu untuk melakukan apa pun, pelan-pelan aja".
Aku mengangguk. Mungkin benar aku butuh istirahat. Aku di sini juga mungkin karena sebulan terakhir aku mengusahakan semuanya untuk ambisi yang aku tak tahu kapan habisnya.
Hirup kota ini adalah ambisi. Rasanya aku akan tertinggal jika aku berhenti ketika melihat gemerlap kota ini beserta isinya tidak berhenti bekerja. Aku lupa bagian pentingnya, tidak ada yang sedang mengejarku. Aku lupa untuk ikut menghirup napas ku, mengambil jeda. Aku lupa, waktu adalah milikku bukan jutaan orang lain yang tinggal di gemerlap kota ini.