Aku tersenyum. Begitu melihat teman-temanku di ruangan itu. Adrian memegang kue dengan lilin yang menyala.
"Tiup lilinnya, Ray", seru Adrian.
Masih diiringi lagu selamat ulangtahun, aku berdoa, lalu meniup lilin itu, diiringi tepuk tangan dan senyum manusia satu ruangan.
"Kalian apa sih? Udah bukan anak kecil kali pakai surprise segala begini", kataku sembari menerima pelukan Tara.
"Ga apa-apa kan, Ya, sekali-kali", Tara cemberut sembari merangkul lenganku.
"Benar, kata Tara, Ray, ga apa-apa lagi, kita cuma mau liat lo bahagia", Dikta menimpal.
"Betul. Panjang umur, ya, Raya, sehat selalu, bahagia selalu", Adrian tersenyum mengusap kepalaku.
Senyumku hilang sesaat setelah Adrian menyelesaikan kalimatnya. Namun buru-buru kuganti dengan senyum yang lain.
"Iyaa, aamiin", lanjutku untuk setiap doa-doa yang mereka panjatkan untukku.
"Tadi pas mau tiap lilin kamu make a wish dulu kan, Ya?", celetuk Alan.
"Iya lah, emang lo ga liat apa? Keasikan nyanyi sih ya lo?".
"Enak aja. Habis, lo cepet bgt doanya".
"Ngapain lama-lama, gua kan ga banyak mau".
"Ya, emang kamu minta apa?", tanya Tara. Matanya berbinar.
Aku diam sebentar. "Ra-ha-si-a", aku tersenyum jahil, dan segera mengalihkan ke topik lain, "mau ngobrol terus apa mau lanjut makan kue nih?".
"Oiya, Ray, ayo potong, kue spesial buat kamu yang ga suka manis pilihan aku", Tara mengucapkannya dengan bangga, dan merangkulku kembali.
Aku lega mereka tidak lagi membahasnya, harapanku itu.
Adrian mengangkat gelas berisi cola mengajak bersulang, "untuk Raya, umur yang panjang, dan persahabatan yang langgeng". Disambut dentingan gelas kami.
Aku tersenyum, melihat satu per satu wajah berseri sahabat-sahabatku ini. Aku rasanya tidak mau mengecewakan mereka. Aku menghela napas memikirkan setiap doa yang mereka semogakan untukku hari ini, selama ini.
"Panjang umur. Harapan", gumamku.
Aku tak bisa bilang tentang doaku sebelum lilin itu kutiup. Karena doa-doaku hampir selalu bertentangan dengan mereka.
Panjang umur, sehat selalu. Kalimat itu berdengung terus menerus di kepalaku. Bagian paling ironisnya adalah yang aku semogakan justru sebaliknya. Sebelum lilin itu kutiup, atau bahkan setiap malam sebelum tidur, setiap subuh, dan setiap petang aku berdoa, "Tuhan tolong hilangkan saja aku dari Dunia, apapun caramu".