Yogyakarta. Bukan kota kelahiranku, bukan kampung halamanku, bukan kota tempatku tinggal, bukan juga kota tempatku mengemban ilmu, bukan kota dimana aku temukan cinta pertamaku, dan akhirnya berkeluarga. Bukan. Bukan itu semua.
“Kenapa harus Jogja, mbak?”, Mama bertanya heran. Aku terdiam, pikiranku menerawang. Mungkin beliau tidak habis pikir bagaimana aku masih sangat ingin pergi ke sana biarpun setiap sudut kotanya sudah hampir khatam ku jelajahi. Lagipula percobaan untuk menetap di sana dengan mengambil salah satu jurusan kuliah di kota itu pun sudah kandas.
Jawabannya memang tidak pernah sederhana. Terlalu banyak cerita di sana, yang aku yakin tak ada satu orang pun akan paham hal itu. “Karena Jogja rumah, Bu”, kalimatku hanya sampai di situ. Beliau tidak tahu berbagai emosi dan memori tiba-tiba menyeruak.
***
“Karena Jogja punya semuanya. Sebuah rumah, rasa sedih, rasa rindu, rasa senang, kehangatan, bahagia, perpisahan, air mata, tawa, keindahan, dan kenangan. Semua yang pernah kumiliki ada di sana”, pikirku.
Yogyakarta adalah dimana aku hidup. Banyak kali pertama di sana, sebanyak kali terakhir yang kualami juga di kota itu.
Kali pertama kakekku mengajakku jalan-jalan dan menunjukkan siluet gunung di kejauhan, Merapi namanya. Kali pertama kakekku menunjukkan bahwa buku bagus tidak harus selalu berada di toko paling bagus juga. Kali pertama aku merasa dicintai oleh laki-laki yang juga aku cintai. Kali pertama diajarkan bahwa rumah bukan hanya tentang bangunan tapi juga perasaan.
Yogyakarta adalah kota dengan kenangan di setiap sudutnya dan di setiap waktunya.
Aku ingat berjalan disebelahnya menyusuri jalan malioboro di bawah langit malam, sesaat kemudian di sambut hujan. Makan angkringan di sudut alun-alun, ditemani kopi hangat dan renyahnya tawa orang yang kusayangi itu.
Atau, cerita menyedihkan di RS Dr. Sardjito. Ketika aku terpaksa menunggu di luar, menunggu kabar tentang nenekku yang terbaring di dalam sana. Cerita menyedihkan lain tentang patah hati ketika aku akhirnya harus melepas cita-cita terbesarku di kampus dan jurusan impianku sejak SMP.
Masih banyak lagi. Ya, karena sejatinya Jogja bukan hanya terbuat dari kenangan, lebih dari itu. Selalu lebih dari itu.