Kota kelahiran Papa. Namun, aku selalu merasa asing. Karena tidak banyak kenangan yang aku ingat di sini. Sampai aku tiba di kota ini 2013 silam.
"REES LO DI PALEMBANG JUGA?", Ian tanpa ampun memborbardir pesan bbm ku kala itu.
"Iya elah, kenapa?", aku heran. Baru saja landing, tapi hp ku sudah berisik sekali. "Gua baru landing, mau ambil bagasi dulu".
"GUA LAGI NUNGGU BOARDING! PLEASE KETEMU SEBENTAR, KANGEN".
Cerita itu diakhiri dengan aku dan dia berlari ke sana kemari di bandara, tapi tak pernah saling bertemu di sana. Kami terpaksa berhenti, karena dia harus segera boarding, sedangkan jemputanku sudah menungguku.
Tapi cerita sederhana itu menghasilkan sebuah perjalanan yang tak terlupakan untuk kota ini. Tidak lagi.
Cerita tentang waktu dan kepergian. Tentang luas dan indahnya kesabaran. Tentang kehangatan secara tersirat dan tersurat.
Tidak dipelajari dalam satu waktu itu. Tapi di setiap kali aku datang ke sana, di setiap waktu aku menginjakan kaki di bandara yang sama, atau melintasi Jembatan Ampera untuk kesekian kalinya.
Palembang adalah kota lain dengan kehangatannya. Kehangatan dengan semangkuk pempek di pagi hari yang selalu tersaji dari dapur rumah dengan bonus senyuman lemah lembut.
Palembang, 7 tahun kemudian, aku yakin sudah jauh berbeda. Bahkan di 2013 pun kota itu sudah jauh berbeda dari yang kuingat terakhir kali. Meskipun begitu aku yakin setiap waktunya semenjak itu menjadikan sebuah waktu dan kenangan yang berharga juga, karena bersamanya aku pun tumbuh.