Jumat, 11 September 2020

MALANG: Usaha dan Harapan, 6 Tahun Lalu

Malang 2014, jadi saksi mata bahwa hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Kota ini jadi saksi tangis bahagia pecah setelah usaha, tawakal, dan doa diramu bersama semesta. Bahwa tak ada lelah yang tidak berbayar.

Semesta tau yang terbaik. Karma itu ada. Semesta itu adil.

Malang jadi destinasi terakhir dalam sebuah pencarian panjang 6 tahun lalu. Sudah siap dengan segala kemungkinannya. Sudah pasrah. Besok adalah usaha terakhir sebelum kuserahkan sisanya pada semesta dan Tuhan.

Matahari baru benar-benar tenggelam waktu itu. Aku dan Ibu menunggu makanan kami dibuat di samping gerobak makanan. Hari itu pengumuman tes mandiri salah satu universitas pilihan Ibu.

Datang sehari lebih awal ke kota ini dengan harapan untuk semuanya berjalan dengan baik dan semestinya. Besok adalah tes masuk universitas tetakhir yang harus kuikuti.

Sambil menunggu makanan kami selesai dibuat aku membuka pengumuman itu. Setelahnya yang aku ingat aku hanya menangis memeluk Ibu. Selamat, hanya satu kata saja yang kubaca, dan itu sudah cukup.

Malam itu hanya awal. Semesta bekerja sebagaimana kita berbuat. Semesta memang suka bercanda, tapi hari itu candaannya membahagiakan. Jangan menyerah dulu, begitu kata semesta, usahakan dulu dengan baik, sisanya bagianku.

Benar saja, sisanya hanya bagian untuk bersyukur. Malang, 6 tahun lalu, adalah sebuah pengingat bahwa lelahnya usaha yang baik akan selalu terbayar dengan hal yang baik. Malang selalu indah dengan ceritanya.

Di satu tahun berikutnya dan 3 tahun berikutnya, Malang jadi pengingat bahwa persahabatan bisa dimulai dari mana saja dan bertahan sebagaimana kita mengusahakannya. Sekali lagi Malang mengingatkan tentang usaha yang baik, bahwa semesta itu baik.
Share:

DENPASAR: yang terus disemogakan.

Semesta, ada orang yang aku sayang di kota ini.

Denpasar. Ah mendefinisikannya saja aku bingung. Rasanya indah saja tidak cukup. Rasanya kota ini sudah saja langsung mengambil semua rasaku. Sebatas ingin yang sulit sekali tergapai.

Jatuh cinta itu ya jatuh saja. Tak perlu melihat. Tak perlu mendengar. Mengerti saja seperlunya. Kenyataan bahwa ia ada saja cukup.

Denpasar.
Semesta, di kota ini ada orang yang kusayangi. Aku sayang dia, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya, melihat wajahnya saja hanya dari foto. Aku tidak pernah mendengar suaranya, apalagi kugenggam tangannya. Sosoknya semu, tapi sampai sekarang pun aku tetap rindu. Dia yang tak akan pernah kugapai, yang tidak pernah menganggapku ada.

Sama seperti kota ini, semesta, dia sangat sulit kugapai. Sangat sulit untuk diwujudkan.

Denpasar, terdengar berbeda jauh setelah aku mengenalnya. Terasa berbeda bahkan saat aku tak pernah berada di sana. Sama seperti Denpasar, dia, dan Rasa ini adalah ketidakmungkinan yang terus menerus aku semogakan saat ini.

Semesta, tolong aku.
Share:

Senin, 07 September 2020

PALEMBANG: 7 Tahun Lalu.

Palembang, 2013. 7 tahun lalu. Lebih tepatnya Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II setelah matahari terbenam.

Kota kelahiran Papa. Namun, aku selalu merasa asing. Karena tidak banyak kenangan yang aku ingat di sini. Sampai aku tiba di kota ini 2013 silam.

"REES LO DI PALEMBANG JUGA?", Ian tanpa ampun memborbardir pesan bbm ku kala itu.
"Iya elah, kenapa?", aku heran. Baru saja landing, tapi hp ku sudah berisik sekali. "Gua baru landing, mau ambil bagasi dulu".
"GUA LAGI NUNGGU BOARDING! PLEASE KETEMU SEBENTAR, KANGEN".

Cerita itu diakhiri dengan aku dan dia berlari ke sana kemari di bandara, tapi tak pernah saling bertemu di sana. Kami terpaksa berhenti, karena dia harus segera boarding, sedangkan jemputanku sudah menungguku.

Tapi cerita sederhana itu menghasilkan sebuah perjalanan yang tak terlupakan untuk kota ini. Tidak lagi.

Cerita tentang waktu dan kepergian. Tentang luas dan indahnya kesabaran. Tentang kehangatan secara tersirat dan tersurat.

Tidak dipelajari dalam satu waktu itu. Tapi di setiap kali aku datang ke sana, di setiap waktu aku menginjakan kaki di bandara yang sama, atau melintasi Jembatan Ampera untuk kesekian kalinya.

Palembang adalah kota lain dengan kehangatannya. Kehangatan dengan semangkuk pempek di pagi hari yang selalu tersaji dari dapur rumah dengan bonus senyuman lemah lembut.

Palembang, 7 tahun kemudian, aku yakin sudah jauh berbeda. Bahkan di 2013 pun kota itu sudah jauh berbeda dari yang kuingat terakhir kali. Meskipun begitu aku yakin setiap waktunya semenjak itu menjadikan sebuah waktu dan kenangan yang berharga juga, karena bersamanya aku pun tumbuh.
Share:

A Game We Will Never Win.

We're both playing a game we know we can't win, but somehow we can't stop too.

Aku bukan main berpikir kita harus berhenti, Wir. Aku tahu kita hanya pura-pura, tapi bukan kah permainan ini sudah terlalu jauh untuk dimainkan?.

4 bulan, Wir. Bukan waktu yang sebentar.

Aku harus mengakuinya atau mengakhirinya seorang diri.

***

"Aku rasanya sudah tidak percaya lagi dengan orang lain, Wir, semenjak dia meninggalkan aku untuk memilih orang lain. Kamu tahu kan rasanya?", aku menghela napas panjang. Aku tahu dia paham.

"Aku paham, Ray", Wira membalas pesan singkatku, "aku juga baru saja mengalaminya, tapi, Ray, kamu tahu apa yang lebih sakit dari itu?".

Aku menunggu. Bodohnya aku ini, kami kan tidak saling bertatap muka, bagaimana dia tau aku sedang bergeleng menunggu jawabannya.

"Masih ada yang lebih sakit?", balasku. "Oh! Cinta beda agama".

"Ya, Ray, dan satu lagi, hubungan yang tidak direstui keluarga".

Aku tersenyum. Dia tahu banyak. "Pengalaman ya, Wir? Hahahahaha".

Wira memberi simbol tersenyum, dilanjutkan kalimat, "kurang lebih, Ray".

Seperti kita ya, Wir?, pikirku getir.

***

"Kita ini apa sih Wir sebenarnya?", kalimat itu tak pernah sampai hati aku tanyakan langsung. Hanya terus menggantung dipikiranku.

We both playing dangerous game here. We know, but we can't stop.

"Babe, u not rest?", pesan masuk Wira saat melihatku masih online.

"Later, babe. You can go rest first, I think Im gonna sleep a bit late", jawabku.

"Okay then, I go sleep, cyaa tomorrow. Goodnight baby! Luv!".

"Nite, luv".

We really shouldn't do this, Wir. This is dangerous play. You and me.

But, somehow I can't stop. It's pleasant and comfortable to be with you, I start to lose how to control my feelings and greed.

***

"Kalau kamu udah ada yang jaga, Ray, aku gabisa pakai panggilan babe lagi dong ya ke kamu?", Wira menggodaku.

Kita banyak berkirim pesan sejak memutuskan untuk berteman di salah satu game.

Aku tertawa. "Hahaha, aku bisa jaga diriku sendiri, Wir".

"Masih tetap butuh orang lain kan, Rayaa?".

"Hehe, masih. Tapi kamu juga lagi jaga aku kan ini?".

"Iya, Ray, tapi hanya sebagai temanmu kan, bukan orang yang spesial?"

"Teman juga orang yang spesial, Wiraaa".

"Teman apa yang spesial, Ray? Aku gamau ah merusak pertemanan kita".

Aku tertawa getir. "Hahahaha iya, Wir, aku juga masih mau dekat denganmu, jangan jadi musuhku ya?".

"Ray, ray, ya ngga lah", balas Wira menenangkan. "Btw, Ray, jangan lupain aku ya kalo nanti kita sudah sama-sama berhenti dari game ini?".

"Iya", aku tersenyum tipis.

Which game do you mean, Wir?.

***

We cant continue doing this game. This is dangerous.

Kamu tahu, jatuh cinta paling sakit adalah jatuh cinta dengan hamba Tuhan yang berbeda.

Itu kita, Wir. Kita.

"Hanya aku ya yang merasa seperti ini? Menahan rasa. Kamu bagaimana, Wir?".

And I start to lose control of my feelings to not fall for you.

Still we proceed to play along.
Share:

YOGYAKARTA: 23 Tahun dalam kenangan.

Yogyakarta, 2019. Masih sama. Malioboro masih ramai seperti dulu. Kopi jos dan angkringannya masih hangat seperti dulu. Merapi masih gagah seperti terakhir kulihat. Rasanya? Tentu saja berbeda, namun kenangannya masih di sana. Hidup. Terus hidup. Entah sampai kapan.

Yogyakarta tiap sudutnya adalah kenangan. Sedih, senang, kecewa, bahagia, marah, lelah, rindu, semuanya masih lengkap di sana.

Kalau mereka protes Yogyakarta tidak seindah itu terlihat. Ya, tidak apa-apa. Aku tidak menyalahkan mereka. Definisinya kan relatif, tidak statis.

Bagiku Yogyakarta masih sama. Kota sejuta kenangan. Tiap sudutnya masih sama.

Yogyakarta 20 tahun yang lalu hingga saat ini hanya terus bertumbuh. Tumbuh bersama kenangan yang ikut terpupuk tumbuh di sana. Bersama waktu sampai nanti ia abadi di sana, di setiap sudutnya.

Sekali pun banyak yang berubah, aku yakin, Yogyakarta dan segala waktu yang pernah hidup di dalamnya akan tetap abadi.
Share:

Sabtu, 05 September 2020

YOGYAKARTA

Yogyakarta. Bukan kota kelahiranku, bukan kampung halamanku, bukan kota tempatku tinggal, bukan juga kota tempatku mengemban ilmu, bukan kota dimana aku temukan cinta pertamaku, dan akhirnya berkeluarga. Bukan. Bukan itu semua.


“Kenapa harus Jogja, mbak?”, Mama bertanya heran. Aku terdiam, pikiranku menerawang. Mungkin beliau tidak habis pikir bagaimana aku masih sangat ingin pergi ke sana biarpun setiap sudut kotanya sudah hampir khatam ku jelajahi. Lagipula percobaan untuk menetap di sana dengan mengambil salah satu jurusan kuliah di kota itu pun sudah kandas.


Jawabannya memang tidak pernah sederhana. Terlalu banyak cerita di sana, yang aku yakin tak ada satu orang pun akan paham hal itu. “Karena Jogja rumah, Bu”, kalimatku hanya sampai di situ. Beliau tidak tahu berbagai emosi dan memori tiba-tiba menyeruak.


***


“Karena Jogja punya semuanya. Sebuah rumah, rasa sedih, rasa rindu, rasa senang, kehangatan, bahagia, perpisahan, air mata, tawa, keindahan, dan kenangan. Semua yang pernah kumiliki ada di sana”, pikirku.


Yogyakarta adalah dimana aku hidup. Banyak kali pertama di sana, sebanyak kali terakhir yang kualami  juga di kota itu.


Kali pertama kakekku mengajakku jalan-jalan dan menunjukkan siluet gunung di kejauhan, Merapi namanya. Kali pertama kakekku menunjukkan bahwa buku bagus tidak harus selalu berada di toko paling bagus juga. Kali pertama aku merasa dicintai oleh laki-laki yang juga aku cintai. Kali pertama diajarkan bahwa rumah bukan hanya tentang bangunan tapi juga perasaan.


Yogyakarta adalah kota dengan kenangan di setiap sudutnya dan di setiap waktunya.


Aku ingat berjalan disebelahnya menyusuri jalan malioboro di bawah langit malam, sesaat kemudian di sambut hujan. Makan angkringan di sudut alun-alun, ditemani kopi hangat dan renyahnya tawa orang yang kusayangi itu.


Atau, cerita menyedihkan di RS Dr. Sardjito. Ketika aku terpaksa menunggu di luar, menunggu kabar tentang nenekku yang terbaring di dalam sana. Cerita menyedihkan lain tentang patah hati ketika aku akhirnya harus melepas cita-cita terbesarku di kampus dan jurusan impianku sejak SMP.


Masih banyak lagi. Ya, karena sejatinya Jogja bukan hanya terbuat dari kenangan, lebih dari itu. Selalu lebih dari itu.


Share: