Sabtu, 03 November 2018

Kehilangan yang Baik.

Di kehilangan paling baik sekali pun akan selalu muncul tanya. Di kehilangan paling adil sekali pun akan tetap ada hati yang terluka. Di kehilangan paling terencana sekali pun (ya, jika itu ada) aku yakin tetap akan ada sedih yang menggantung.

Aku pun begitu. Kita semua begitu. Aku yakin.

Memaknai kehilangan adalah hal yang sulit. Kadang kita menyalahkan diri kita sendiri. Kadang kita akan menyalahkan orang lain atas kehilangan kita. Kadang kita tidak lagi memiliki orang untuk disalahkan, sehingga kita menyalahkan Tuhan.

Aku pun begitu. Mungkin kalian pun begitu?.

Memaknai kehilangan butuh proses yang panjang. Butuh waktu tidak sebentar. Kadang proses menyalahkan itu perlu, agar kita sadar. Tidak ada orang yang perlu disalahkan atas semua kehilangan kita. Tidak ada. Bukan juga diri kita. Kita hanya perlu menerima, bahwa semua hal yang kita punya memang tak pernah menjadi milik kita. Semuanya milik Tuhan. Bahwa yang hilang akan diganti dengan yang lebih baik. Bahwa yang hilang mungkin akan kita temui lagi, nanti di suatu waktu.

Rencana Tuhan itu pasti. Rencana Tuhan itu adil.

Kehilangan yang paling baik bagiku adalah kehilangan dengan 'selamat tinggal', berpisah baik-baik, dengan senyuman di akhir, dengan surat, dengan pelukan 'selamat tinggal', dengan lambaian tangan, dengan doa 'semoga baik-baik dan sisa perjalananmu menyenangkan'. Tapi begitu pun, dengan semua itu pun, kehilangan masih meninggalkan luka yang terus tinggal.

Lalu bagaimana dengan kehilangan yang tidak baik?.

Bagiku semua kehilangan itu baik, pada akhirnya. Karena pada akhirnya pula kita tidak punya pilihan selain melepaskan. Sementara, melepaskan dan tidak sama-sama meninggalkan luka. Kehilangan yang tidak baik itu seperti apa memangnya?. Kehilangan dengan amarah?. Pada akhirnya kita harus tetap memaafkan, untuk diri kita sendiri.

Setiap kehilangan pasti menyakitkan, pasti meninggalkan luka. Setiap kehilangan punya waktu yang berbeda untuk sembuh, bersabar. Maknai kehilangan itu untukmu, sehingga setiap kehilangan punya setiap pelajarannya. Punya ceritanya sendiri. Sehingga yang hilang tidak benar-benar hilang.

Untuk setiap jiwa yang sedang merasa kehilangan.
4 November 2018.

Share:

Rabu, 31 Oktober 2018

Sudah (atau) Selesai.

Sudah atau selesai. Perkara keduanya ialah pilihan. Pilihan untuk menyudahi atau menyelesaikan.

Kadang kita berpikir hidup tidak adil. Padahal hidup selalu memberi kita pilihan. Kadang kita iri dengan pencapaian orang lain. Tanpa terlebih dahulu melihat pilihan apa yang mereka ambil. Kita mungkin memilih untuk menyelesaikan----tanggung jawab, pekerjaan yang saat itu kita kerjakan----segalanya hingga tuntas. Sementara, yang lain memilih untuk menyudahi saja-----tanggung jawab, apa yang sedang mereka kerjakan saat itu----sampai situ. Mungkin karena mereka ingin melanjutkannya nanti, sementara kita terbelenggu pada idealisme tidak ingin menunda. Siapa yang tahu?. Kita hanya perlu sama-sama menerima semua itu adalah pilihan kita masing-masing.

Sudah atau selesai. Perkara keduanya adalah waktu. Waktu untuk menyelesaikan atau menyudahi.

Kadang kita lupa setiap orang punya waktu yang berbeda. Jam terbang yang berbeda. Masa yang berbeda. Perkara sudah atau selesai adalah perkara waktu. Waktu untuk berhenti sekarang atau nanti. Waktu untuk mengambil napas pendek atau panjang. Mungkin di saat pilihan itu jatuh, mereka tidak punya waktu lebih untuk menyelesaikannya, sehingga menyudahi untuk sekarang adalah satu-satunya pilihan bagi mereka. Mungkin kita saat pilihan itu jatuh diberikan waktu lebih, sehingga menyelesaikan hingga akhir mungkin dilakukan.

Sudah atau selesai. Keduanya adalah perkara tanggung jawab. Tanggung jawab yang diemban sehingga harus menyudahi dibanding harus menyelesaikan. Tak ada pilihan.

Kadang kita lupa tanggung jawab yang dipikul seseorang tidak selalu sama beratnya dengan kita. Kadang pilihan satu-satunya adalah menyudahi yang bisa mereka sudahi walaupun hasilnya tidak sesuai yang mereka inginkan. Mereka tak punya pilihan. Sementara kita punya pilihan.

Menyudahi sesuatu terlihat lebih mudah, padahal tidak. Beban pilihan yang diambil sama berat. Walau pun terkadang waktu yang ditempuh jauh lebih singkat. Tanggung jawab yang dipikul tetap sama berat.

Sebaliknya, menyelesaikan selalu terlihat lebih sulit, padahal tidak. Beban pilihannya sama ringan. Walau pun waktu yang ditempuh cenderung lebih panjang. Tanggung jawab diakhir jauh lebih tanpa beban.

Mungkin pikirmu, hidup tidak adil. Tapi salah. Hidup selalu memberimu pilihan, jika kamu keberatan, kamu selalu punya pilihan untuk menyudahi atau menyelesaikan. Tinggal memilih, tidak perlu banyak alasan.

Pada akhirnya hidupmu ada ditanganmu sendiri. Sudah atau selesai?. Terpenting, jangan pikirmu hidup tak adil, karena Tuhan selalu membuatnya adil.

Sebuah renungan untuk tidak lulus tepat waktu, tetapi pada waktu yang tepat.
31 Oktober 2018.

Share:

Selasa, 30 Oktober 2018

Selamat Jalan.

"Selamat jalan", kataku.
Di tepi landasan
Sembari melambaikan tangan.

"Selamat jalan", seruku.
Sekali lagi
Melambai
Di ruang tunggu penumpang.

"Selamat jalan"
"Semoga sampai tujuan"
Lanjutku
Penuh pengharapan

Semoga Tuhan mengizinkan
Untuk kamu pergi
Dengan kabar
Sebelumnya

Karena ditinggalkan
Tanpa "selamat tinggal"
Menderu sakit
Yang terus tinggal

"Selamat jalan"
Semoga di akhir
Kita sampai, kita tiba
Di tujuan yang sama.

Turut Berduka atas jatuhnya Lion Air JT610 Senin, 29 Oktober 2018.
Semoga yang pergi dapat damai, dan yang ditinggalkan diberikan kelapangan hati.
Semoga Tuhan mengampuni dan menempatkan korban di tempat terbaik. Dan sanak yang ditinggalkan selalu dikuatkan.

Di bawah langit yang menangis.
30 Oktober 2018.

Share:

Minggu, 14 Oktober 2018

Distorsi Waktu [1]

Aku tahu akan ada satu masa dimana pikiranmu mengalami distorsi hebat, akibat ingatanmu tentang kenangan.
Distorsi yang akan meluapkan semua perasaan.
Aku belum merasakannya saat ini. Aku hanya tahu suatu saat itu akan terjadi lagi, karena aku pernah ada di waktu itu sebelumnya.
Distorsi yang akan membuatmu bingung akan kenyataan saat ini.
Mungkin karena aku terlalu merindu?. Mungkin karena kita berharap waktu berhenti?. Mungkin karena kita terus mengulangnya kembali di kepala kita?. Mungkin karena terlalu banyak untuk dilupakan?.
Aku tak tahu. Aku tidak mengerti kenapa. Aku hanya cukup memahami bahwa hal itu akan terjadi.
Distorsi yang akan memporakporandakan hati kita.
Distorsi yang akan melibatkan kembali kita. Tanpa pernah benar-benar membuatmu berantakan kembali.
Hanya aku. Di distorsi ini hanya aku pemeran utamanya. Sementara yang lain hanya pendamping.
Namun, sungguh peran apa pun itu, itu semua memengaruhi waktu.

Mungkin saat ini yang bisa kulakukan adalah menunggu pusaran waktu itu datang dan segera berlalu.
Atau berharap badai waktu tak akan pernah terjadi, yang sepertinya hampir tidak mungkin.
Share:

Parallel Universe.

Mungkin di sebuah dunia yang lain, kita bisa berjalan berdampingan. Saling menggenggam tangan, tanpa peduli apa kata orang.

Mungkin di waktu yang lain, kita bisa saling menyapa. Meluapkan rasa tanpa takut ada celah yang membelah.

Mungkin di suatu malam yang lain, kamu bukan hanya sosok yang selalu aku doakan. Melainkan yang membersamaiku berdoa sepanjang malam.

Mungkin di tiap hari yang lain, kamu bukan hanya sosok yang aku harapkan. Malah yang menemaniku menerjang setiap hariku tanpa keluh.

Mungkin di satu kemarau panjang lainnya, bukan aku yang mencarimu dalam penatnya rindu. Tetapi kamu yang berdiri di hadapanku memberi teduh.

Mungkin di suatu media lain, kamu bukan hanya seorang yang kutunggu kabarnya. Melainkan kamu yang memberiku kabar menghapus hausnya penasaranku.

Mungkin di suatu cerita yang lain, kamu dan aku adalah tokoh yang saling berdampingan, saling melengkapi, dan saling menghargai satu sama lain.

Mungkin suatu forum diskusi yang lain, aku dan kamu bisa bertukar lebih banyak wawasan, mimpi, dan misi yang lebih luas. Lalu mewujudkannya bersama.

Mungkin di suatu kondisi sulit yang lain, aku dan kamu bisa saling membantu, membantu, dan pecah sudah kondisi itu hingga lebih mudah.

Mungkin nanti. Di waktu, dunia, dan masa yang lain, kita bertemu kembali dan tak ada lagi sekat untuk sekedar bertegur sapa.

Semoga ini nyata.
FMIPA, 2018.

Share:

Minggu, 12 Agustus 2018

I Lost You; That's Okay!

Sebuah cerita lama. Mengingatmu kembali. Sebuah kisah lama. Merindukanmu kembali.

Karena bagaimana pun, kamu tak akan pernah kembali.

Mungkin aku hanya merindukan memori. Mungkin aku hanya merindukan kenangan. Mungkin bukan kamu yang aku rindukan. Melainkan sebuah perhatian.

Mungkin aku kesepian. Atau mungkin aku sedang merasa berantakan. Hingga tak tahu benar siapa dan apa yang kurindukan.

Di masa yang lewat aku adalah orang paling beruntung. Aku pernah mengenalmu. Bebagi cerita bersamamu. Tersenyum bersamamu. Dirindukan olehmu. Merindukan olehmu.

Di waktu itu aku orang yang bahagia. Orang yang bersyukur biarpun hujan jatuh. Orang yang terlindung dari badai.

Itu berkatmu.

Di masa yang lewat melihatmu adalah hal yang paling membahagiakan. Bercakap denganmu adalah hal yang paling melegakan. Melihatmu tersenyum adalah segalanya bagiku.

Di waktu yang akan datang. Serta di waktu ini. Semua hal itu tetap akan sama bagiku.

Di waktu ini. Aku tahu merindukanmu adalah kekosongan yang panjang. Tanpa jeda. Merindukanmu selalu kembali memporak-porandakan rasaku.

Atau bukan?. Aku ingin tahu.

Tidak apa. Aku tidak apa.

Aku merelakanmu pergi. Sudah sejak lama aku kehilanganmu. Aku melepasmu pergi. Tanpa sempat aku genggam tanganmu. Aku biarkan kamu lari. Mengejar semua bahagiamu.

Aku tidak apa. Selama merindukanmu dan kenangan itu tidak dilarang.

Aku kehilanganmu begitu saja. Tanpa aku melihat celanya. Mungkin hidup tidak mengizinkan kita berjalan berdampingan. Tapi tidak apa. Karena aku masih bisa melihatmu di dunia.

Share:

Sabtu, 04 Agustus 2018

Realita itu Fana.

Kembali ke kenyataan adalah hal paling terakhir yang aku inginkan saat ini. Setelah semua goresan pena di kertas. Setelah semua cetak tinta di buku. Setelah ribuan dialog yang ku dengar dan ku baca. Setelah ratusan adegan yang ku lihat. Dari semua fiksi dan cerita yang aku dalami beberapa waktu terakhir. Aku benci untuk sadar dan kembali.

Hatiku menolak. Pikirku memberontak. Rasaku merengek. Aku tidak mau.

Aku tidak terima dihantam keras oleh kenyataan. Kenyataan bahwa waktu terus berjalan, menjauh. Membuat jarak dari segala yang aku cintai. Aku benci mengtahui bahwa aku terus merasa berantakan. Porak poranda. Layaknya kapal karam yang tak lagi bisa diperbaiki. Tenggelam. Lalu perlahan hilang dari peradaban. Aku benci orang-orang di sekitarku. Di duniaku yang sesungguhnya. Mereka yang bersuara namun tak bisa ku dengar. Dunia yang bising tapi terus terasa hampa. Sepi.

Aku terus kembali. Tenggelam ke dalam fantasi alam bawah sadarku. Terenggut oleh dalamnya pikiranku. Termakan oleh suara dalam otakku.

Tak bisa lari. Ragaku ada, tapi jiwaku hilang. Kenyataan ini semu atau kah fantasiku nyata?. Dan apakah orang-orang itu sadar atas keberadaan dan kehilanganku? Atau kah benar mereka mengabaikanku?. Aku rasa aku jadi ingin tahu.

Share:

Jumat, 08 Juni 2018

Tentang Memaafkan Diri Sendiri

Rasanya sudah lama sejak terakhir kali aku menulis. Tentang sebuah refleksi diri, serta rasa yang berhamburan ke segala arah. Aku bukan tidak merasakannya, hanya semua terasa terlalu padat hingga dadaku sesak dibuatnya.

Bicara tentang diri sendiri. Tentang rasa. Tentang hidupku. Rasanya semua itu tidak pantas. Rasanya aku terlalu sombong, padahal tidak ada yang perlu aku sombongkan. Tidak ada yang pantas untuk aku ceritakan, bukan suatu hal yang baik seperti yang dapat kalian lihat di platform media sosial orang lain.

Namun, mengapa aku terus merasa dicurangi?. Menyesakan.

Aku terus merasa aku tidak pantas. Terus merasa aku salah. Aku terus bertanya tentang sebuah eksistensi, untuk apa?. Aku bernapas dalam lara, tanpa tahu apa penyebabnya. Aku terus berlasri dalam gelap, tanpa aku tahu kemana arahnya. Aku terus menyakiti orang lain, tanpa tahu awalnya. Dan semua kata terus yang selalu aku takutkan berikutnya.

Aku selalu merasa semua kesalahan adalah kesalahan yang besar. Dan memaafkan seseorang adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Ternyata aku salah besar. Karena sesungguhnya bagian tersulit dari memaafkan adalah memaafkan diri sendiri. Dan tidak apa untuk seskali membicarakan diri sendiri.

Beberapa waktu lalu aku sadar aku memiliki kontrol emosi yang buruk. Bukan aku mudah marah dan menyalahkan orang lain. Atau aku pandai menangis meraung-raung. Bukan. Aku cukup pandai mengontrol itu semua. Aku cenderung orang tanpa emosi yang tidak suka teriakan (tapi aku mohon jangan salah menilaiku, aku tetap manusia). Aku pandai memaafkan. Aku cenderung menghindari konflik. Aku menghargai setiap hubungan.

Masalahku adalah aku tidak pernah benar-benar memaafkan diriku sendiri. Ketika aku meminta maaf, aku meminta maaf atas kesalahanku untuk orang lain. Tapi tidak ikut memaafkan diri sendiri. Dan terus begitu di setiap kesalahan. Hingga di satu waktu aku bertanya kepada diriku sendiri, "kenapa kau melakukan itu dulu? kenapa kau menyakiti orang lain?". Dan tidak juga memaafkan diriku atas semua itu.

Orang lain akan bilang itu penyesalan. Bagiku penyesalan itu sudah terlalu lama. Dan itu semua hanya tentang memaafkan dan penerimaan. Sebelum akhirnya diri kita bisa bernapas lega. Tanpa terus merasa dicurangi, tanpa terus merasa egois karena membicarakan diri sendiri, dan tanpa terus merasa bersalah melakukan sesuatu.

Kepada diriku, maaf terus menyakitimu, tanpa pernah memberi maaf untukmu.


Ya, pada akhirnya bagian tersulit dari memaafkan adalah memaafkan diri sendiri.
8 Juni 2018. Selamat Malam.
Share:

Kamis, 24 Mei 2018

Distorsi Waktu [2]

Saatnya berhenti sejenak. Mengatur napas. Kemudian kembali.

Di penghujung malam, aku sadar waktuku tak pernah beranjak dari masa itu.

Aku melihatmu kembali. Senyummu untukku kala itu. Tawamu waktu itu. Matamu yang berpendar kepadaku.

Sebuah cerita lalu, yang kupikir sudah hilang dari kepalaku. Potongan adegan yang kupikir telah berganti di otakku. Rangkaian kata yang kupikir telah terhapus dari ingatanku. Serta, rangkaian doa yang sudah berhenti di setiap malamku.

Ternyata aku salah. Benar-benar salah.

Waktu tidak berjalan maju. Ia berputar. Terlalu cepat. Hingga putarannya kembali memilin ingatanku.

Aku begitu menyayangimu. Waktu itu. Dan masih menyayangimu.

Mungkin aku salah. Mungkin aku bingung. Mungkin ingatanku sudah payah. Malah mungkin karena distorsi ini.

Bukan itu yang penting. Mungkin aku tidak menyayangimu dengan cara yang sama, atau mungkin masih dengan cara yang sama. Aku tidak terlalu peduli.

Aku hanya ingat. Waktu mengingatkanku. Aku telah berjanji untuk tidak pernah berhenti berdoa untukmu. Berharap kamu bahagia. Tanpa peduli kamu. Tanpa peduli waktu.

Waktu menagih janjiku. Mengingatkanku bahwa aku selalu menyayanginya. Menggunakan caraku. Bersama doaku. Tanpa peduli kamu. Tanpa peduli waktu.

Bahwa aku tak pernah membencinya seperti rasa sakitku. Bahwa aku tak pernah benar-benar melepasnya. Tanpa peduli bagaimana kamu. Tanpa peduli waktumu.

Kepada malam aku bisikkan "selamat malam, selamat tidur". Kepada langit aku bisikkan doaku. Untukmu. Kembali.

Suatu saat lagi kita sama-sama berhenti. Semoga waktu kita berhenti bersama. Sementara. Mari mengatur napas. Lalu kembali. Beranjak.

Di penghujung malam akan aku sampaikan janjiku. Di penghujung malam aku berterimakasih kepada badai waktu.

Kepada kamu: aku rindu.
24-05-18.

Share:

Selasa, 22 Mei 2018

Diri Kita di Suatu Waktu.

Akhirnya, di satu waktu di hidupmu----di hidup kita masing-masing----kita hanya memiliki diri kita sendiri. Suatu waktu di hidup ini pada akhirnya aku dan kamu hanya dapat mengandalkan diri sendiri.

Bergumul dengan emosi di pojok ruangan. Melawan suara yang entah dari mana terus bergema, baik dalam sunyinya malam, maupun dalam ramainya siang.

Akhirnya, pada satu saat yang perlu kita perbaiki adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Menyatukan kembali serpihan hati yang sebagiannya sudah tidak terlihat. Atau melilitkan kasa perban ke tiap luka pada tubuh kita sendiri.

Sungguh siapa yang peduli? Memangnya siapa yang akan memperbaiki kamu?.

Bukankah bayanganmu sendiri meninggalkan kamu di gelapnya malam?

Akhirnya, kita hanya memiliki diri kita masing-masing untuk bertahan. Menata ulang bata-bata. Menutup ulang luka-luka. Menepis habis air mata. Lalu, tersenyum tanpa sela.

Apakah kamu juga?. Berharap tak ada orang yang tahu. Berharap mereka berhenti memaki, menerka, dan berprasangka.

Akhirnya, tak akan ada yang peduli kamu sakit, menangis, jatuh, tersungkur, atau mati.

Lalu, kita hanya akan terus tenggelam dalam kepura-puraan tiada akhir. Dan berhenti mempercayai oranglain, selain diri kita sendiri.

Share: