Sabtu, 12 Februari 2022

Patah dan Amarah.

Sudah puluhan jam ketiadaan itu kupandangi. Tanpa arti. Tanpa hati. Hilang akal. Hancur. Porak poranda. Berusaha menata perasaan yang lebam baru saja dihajar realita.

Padahal aku berharap melihatmu lagi di ujung sana, menyapa "aku kembali" dengan sekotak cerita. Aku salah. Sapamu hilang bersama dengan cerita dan tawamu.

Menyisakan tanya, "apa salahku?".
"Ada apa denganmu?".
Tanpa ada jawaban, melainkan luka yang tinggal.

Kamu tahu? Mempercayaimu adalah keputusan besar setelah jutaan patah yang tidak bisa sembuh. Mempertahankanmu adalah kata terakhir yang kuusahakan. Dan melepasmu ternyata lebih menyakitkan dari apa yang kubayangkan.

Aku habis akal.
Tidak tahu lagi mana yang salah dan benar.
Hilang arah.
Entah kemana harus melangkah.

Aku ingin memakimu. Mendoakan segala kesakitan untuk kembali padamu.
Namun, hatiku tahu jauh sebelum itu, aku sudah lebih dahulu peduli padamu. Memilih mengusir apa pun yang mungkin mengusikmu.

Tapi tidak begitu bukan bagimu?

Sekarang tidak ada yang tersisa dariku, kecuali serpih yang harus kusapu. Tangis yang harus kubelenggu. Marah yang harus kuredam. Serta, tanya yang tak akan pernah terjawab.

Terimakasih untuk waktu dan ceritanya. Patah dan utuhnya. Hancur dan bahagianya. Semua. 

Tanpa maaf darimu yang akan ku terima. Semoga kamu hidup dengan tenang dengan sisa jawaban dan makian yang kamu bawa bersamamu untukku.

Dan untuk terakhir kali selamat menyalahi makna hari kasih sayang yang orang-orang gaungkan. Sampai nanti karma kita kembali.
Share:

Selasa, 01 Juni 2021

menyambung harapan.

"Del, Ara lagi asik sama dunianya sendiri lagi ya?", sayup-sayup aku mendengar suara dari luar earphone-ku. Entah dari siapa.

Mungkin bagi banyak orang apa yang aku kerjakan saat ini sama sekali tidak menguntungkan bagi masa depan. Menghabiskan waktu. Tapi bagiku setiap jeda seperti ini adalah bagian aku membangun masa depan. Setidaknya di waktu seperti ini aku sadar aku sedang menyambung harapanku untuk terus hidup.

Dulu pernah ada yg bertanya padaku, "Ra, kamu kenapa suka baca buku?".

Aku berpikir, "buku membawaku ke berbagai dunia yang tidak pernah aku lihat".

Tapi sekarang rasanya maknanya lebih kecil dari itu dan jauh lebih dekat dari itu. Setiap kata dan jalinan kalimat yang ada di dunia ini, sekecil apa pun itu, adalah penyambung harapan hidup untukku.

"Ra.... Hoy, Ara, mau sampai kapan duduk di sini? Pindah yuk cari makan, udah mulai rame nih", Dela menyikut lenganku agar aku sadar bahwa aku sudah terlalu lama tenggelam dalam duniaku.

Aku meringis, "hehe, sebentar Del, 10 menit lagi ya, ini 10 menit lagi kelar kok".

"Tadi nonton music video (mv) grup idola kesayangan, terus baca update terbaru komik favorit, sekarang lagi apa? Drama? Anime?", Dela menjawab panjang sambil menggelengkan kepala, tanda ia tidak habis pikir denganku.

Aku meringis lagi, "Anime, ini bentar doang kok, Dela sayang".

Dela duduk di sampingku. "Lagian lo kok bisa sih ga berhenti fangirling bahkan di tempat yang banyak orangnya gini? Ga malu?".

Aku melihat ke arah Dela sebentar, "kenapa malu? Gua senang kok, lagian mereka yang komplain mungkin gatau gua dapat apa dari apa yang gua kerjakan".

Dela mendelik, "emang lo dapat apa? Uang gitu?".

Aku tertawa kecil, "ya, ngga lah, Del. Seringnya gua dapat harapan baru buat gua terus hidup dan ga nyerah sama keadaan. Pendeknya gua dapat motivasi". Aku berdiri tiba-tiba, "gua udah kelar nih, sambil cari makan yuk".

"Lah, udah beres nontonnya?", Dela mengikuti aku.

"Udah nanti bisa lanjut dimana aja gua mah".

Dela menjajari langkahku, lalu melanjutkan, "lo nonton mv juga dapat hidayah gitu?".

Aku tertawa, "apa sih, Del, kok hidayah. Motivasi tau". "Tapi ya iya dong lagu kan ada liriknya, kalo gua nonton drama atau anime atau film kan ada dialognya ada jalan ceritanya, mv juga punya cerita dari liriknya, kalo gua baca komik sama aja kan gua baca dialog sama cerita, Del", lanjutku panjang.

"Sama aja sih, Del, kalo gua baca buku, kadang ada aja kan motivasi dari kalimat yang gua baca. Karena menurut gua semua cerita, kata, dan kalimat yang ada di dunia ini tuh bisa jadi motivasi, hiburan, bahkan penyambung hidup kalo lagi ngerasa sedih", lanjutku lagi.

Dela mengangguk. Lalu melihatku menyelidik, "kalo lo sampai tenggelam gitu berarti lo lagi butuh banyak mitovasi hidup gitu, Ra?".

Aku tertawa sambil menyikut Dela, "sialan lo, Del, peka banget sih".

Dela tersenyum lembut, "gua ga masalah kok, Ra, lo sama dunia lo, cuma mau ngasih tau aja, kalo lo masih belum ngerasa cukup dengan apa yang lo dapat di dunia lo, gua siap berbagi juga sama lo dunia gua".

Aku tersenyum dan langsung merangkul Dela, "dengan senang hati, Delaku. Biarpun lo ga bakal sebijak "kesayangan-kesanyangan" gua sih, Del".

Dela tertawa, "sialan. Bangun, oy, Ra, jangan halu mulu".

Aku tertawa.

Tak apa kalau banyak dari mereka yang tidak mengerti apa makna dari pekerjaan yang kulakukan. Setidaknya aku bisa tetap hidup sebagai aku.


Share:

Senin, 25 Januari 2021

Ratusan Hari setelah Kehilangan

"Res, belum masuk kelas?", Adnan membersamai langkahku di koridor.

Aku menoleh dan sedikit memperlambat langkahku, yang sedang terburu-buru menuju kelas, agar sejajar dengan Adnan, "tadi dari kantin cari teh hangat, perut gua perih dari pagi. Lo dari mana, Nan? Ini udah bel dari tadi ya?".

"Kalem, Res, baru bel kok. Gua habis dari fotokopian", Adnan mengulurkan tangan dan tersenyum, "lari ke kelas?".

Aku mendelik sembari berhenti sebentar menatap Adnan bingung, "kelas kita sekarang beda arah, Nan".

Adnan tertawa, "iya beda arah, tapi sampai koridor ini habis masih satu arah, kan?", Adnan mengusap kepalaku, lalu mengulurkan lagi tangannya.

Aku mengangguk dan meraih uluran tangan Adnan, lalu kami berlari menuju kelas kami.

"Gua bisa lari sendiri kok, Nan", aku menoleh ke Adnan. Bingung dengan keputusanku sendiri setelah meraih tangannya.

"Langkah gua lebih besar daripada lo, Res. Lagian katanya perut lo lagi sakit, tapi gua tau lo gamau telat masuk kelas kan? Jadi gua temani takut lo kenapa-kenapa di jalan, udah sepi nih".

Aku mengangguk. "Lo ga takut telat?".

Adnan mendelik dan tertawa kecil, "gua, Res? Lo tanya gua takut telat masuk kelas apa ngga? Lo nanya pertanyaan retoris, Res. Guru lo siapa emang sekarang?".

"Pelajaran fisika gurunya ngga galak tapi tegas, ga enak juga kalo telat, minggu lalu beliau sempet marah masalah tugas, takutnya masih diungkit di minggu ini".

"Tenang baru bel masuk, gua yakin guru lo belum masuk kok, Res".

Adnan menghentikan langkahnya ketika sampai di ujung koridor, lalu mengusap kepalaku sekali lagi, "sudah sampai. Gua ke kiri, hati-hati naik tangganya ya, Res. Sampai ketemu lagi nanti, cepat sembuh". 

Adnan tersenyum lalu meninggalkan aku menuju kelasnya. Sembari berjalan kusempatkan untuk menoleh sebentar ke belakang melihat Adnan pergi.

Melepasnya adalah salah satu penyesalan terbesarku, tapi hari ini aku lega, setelah hari itu senyumnya kembali dan tetap menjadi Adnan yang kukagumi.

Begitu aku bangun butuh beberapa menit untuk sadar bahwa kejadian barusan tidak nyata. Bahwa penyesalannya ternyata masih ada. Tapi melalui mimpi ini aku teringat sekaligus belajar memaafkan diri sendiri, karena ternyata aku pernah, setidaknya sedikit, melakukan hal baik untuk Adnan.

Hal baik sesederhana menjajari langkahnya, meraih tangannya, dan menoleh sebentar melihat ia pergi dengan senyumnya.

Setelah ratusan hari dari terakhir kali kamu mampir ke mimpiku, semalam kamu menyapaku lagi, Nan. Bukan dengan senyum sedihmu, kali ini dengan senyum yang selalu membuatku mengagumimu kala itu. Bersama uluran tanganmu kamu tersenyum kepadaku, Nan. Terima kasih.
Share:

Jumat, 23 Oktober 2020

Asimtot

Hari ini aku memilih untuk pergi menemani ayah ke kampung halamannya. Kali ini aku mengalah untuk tidak ikut pergi berlibur dengan teman-temanku. Entah, aku tidak tahu apa yang merasuki ku, padahal ayah pun tak masalah jika aku tidak ikut pergi dengannya.

Pesawatku tiba di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II pukul 18.38 waktu setempat. Terlambat satu jam dari waktu yang diperkirakan, akibat delay. Baru saja turun dari eskalator handphone-ku dihujani belasan pesan.

"REES LO DI PALEMBANG??", Ian tanpa ampun memborbardir pesan di handphone-ku.

Aku heran. Lupa kalau aku sempat update twitter sebelum take off tadi. "Iya, elah, kenapa? Baru landing gua".

"DIMANA???", Ian terus memburu jawaban dariku, "GUA DI PALEMBANG JUGA".

Terjawab sudah keherananku. "Mau ambil bagasi. Capslock lo jebol ya? Santai aja. Terus kenapa kalo lo di Palembang juga?"

"KETEMU SEBENTAR GUA KANGEN".

"Ngigo ya lo? Baru juga libur semester satu minggu. Baru satu minggu ga ketemu, Ian".

"GUA TETEP KANGEN. BURU! GUA DI BANDARA JUGA".

Aku melongo. Entah karena tau dia sedang di Bandara juga atau karena dia rindu denganku padahal belum lama bertemu. "Hah? Lo baru sampai sini juga? Kita di penerbangan yang sama?", tanyaku masih sangat bingung.

"BUKAN. Mau balik Jakarta nih, gua lagi nunggu boarding. CEPET AYO KETEMU SEBENTAR, RESSS!".

Aku menggelengkan kepala, masih berusaha mencerna cerita ini. Namun, aku memutuskan untuk menyutujui pertemuan aneh di Bandara ini. "Ketemu dimana, gua izin sebentar sama ayah", balasku.

"GUA TELEPON!".

Selanjutnya aku terus berlari kesana kemari berusaha mencari Ian, sampai akhirnya ayah meneleponku bahwa paman sudah menunggu kami di Parkiran.

"Ian, sorry, jemputan gua udah nunggu dari tadi, ketemu lagi di Jakarta ya. Safe flight :)". Bagian membingungkannya lagi aku mengirim pesan itu sambil menelan kekecewaan.

"Gua juga udah mau boarding, have fun here ya, Res. See you".

Setelahnya aku berusaha mencerna semua rencana semesta barusan. Orang yang paling aku tunggu pesannya seminggu terakhir ternyata bukan hanya mengirimiku pesan hari ini, Ia merindukanku dan berada di kota yang sama.

Sekarang aku berpikir, apa jadinya jika kemarin aku memutuskan untuk tidak ikut pergi dengan ayah? Apa jadinya jika pesawatku tidak delay? Apa mungkin rindu kami akhirnya bebas? Bagimana jika aku memutuskan untuk tidak bermain twitter hari ini? Apa Ian mungkin memutuskan untuk tidak mengirimiku pesan?

Namun ternyata semesta memang suka bercanda. Bagian paling lucunya dari semua ini, bahkan di Bandara yang sama serta di waktu yang sama, itu semua masih tak cukup untuk mempertemukan kita. Bahwa setelah cerita ini pun, ternyata kami tidak pernah diperuntukan bertemu di satu titik bahkan di hari-hari berikutnya.
Share:

Selasa, 20 Oktober 2020

Hirup Ambisi yang Tak Tidur.

"Ra, gabisa berhenti dulu kerjanya? Badanmu itu butuh istirahat, sudah sampai diberi selang di tangan begitu masih saja beresin urusan kantor", tanya mama panjang sambil masuk kamar rawatku.

"Gapapa, ma, ada yang urgent, harus di kirim malem ini. Aku juga udah gapapa kok", aku tersenyum sebentar, lalu kembali menatap layar laptopku.

Sekilas kulihat mama hanya menggeleng, dan lanjut merapikan bawaan dari rumah. "Ini mama bawa beberapa salinan, sama ada buah, kamu makan ya. Besok mungkin sore baru mama ke sini lagi".

"Iya ma", aku hanya menyahut sekenanya tanpa mengalihkan pandanganku dari layar.

"Tidur, Ra, istirahat. Mama pulang dulu yaa". Mama mengelus kepalaku.

"Selesai ini Rara istirahat, Ma. Mama hati-hati ya nyetirnya, selamat malam". Aku menerima elusan mama, dan melihat mama pergi.

Aku melihat keluar jendela kamar, tak ada bintang di langitnya. Gantinya gemerlap lampu yang akan terus menemaniku sepanjang malam tak ada habisnya. Sudah pukul 10 malam saat e-mail ku kirim, tapi jalan di bawah sana masih dipadati ratusan kendaraan yang entah sampai kapan akan berhenti.

Aku rasa kota ini tidak pernah tidur. Apa manusia di dalamnya juga tidak tidur?. Seperti aku sebulan terakhir bekerja siang-malam sampai akhirnya aku terbaring dengan selang dan tetes IV di sini.

Aku menghela napas. Lalu tak lama tenggelam dalam jutaan lampu dan mimpi di kota ini, hilang hingga matahari menyeruak di kemudian hari.

"Ra, udh sarapan?". Hari ini giliran Kak Ardi yang menjagaku. "Kamu pagi-pagi yang dipegang hp sama laptop duluan ya, Ra? Ini sarapan udah ada yang kamu makan?".

"Kak, nanti Rara makan, udah deh gausah bawel, aku mau ngirim lampiran kerjaan sebentar, nanti aku makan semua".

"Kamu tuh kerjaan terus yang diperhatiin, apa sih yang kamu kejar, Ra?".

"Bentar aja, Kak".

"Nih, kakakmu di sini lagi ngomong aja ga dikasih perhatian", Kak Ardi terus berbicara tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali dari ku.

Begitu e-mail untuk meeting hari ini selesai aku buru-buru menatap kakaku yang berdiri heran sejak tadi. "Sekarang perhatian Rara buat Kak Ardi. Jadi mau bilang apa kakakku sayang?".

Kak Ardi melangkah merapikan meja untuk aku sarapan, "Ra, kakak paham kerjaanmu penting. Ambisimu besar. Tapi, Ra, bukan itu saja yang butuh perhatianmu. Badanmu juga, kesehatanmu. Kakak sedih loh liat adik kakak tidur di rumah sakit gini".

Aku melihat mata Kak Ardi, matanya sedih. "Aku gapapa, Kak. Ini aku sudah mendingan". Aku tersenyum berusaha meringankan kekhawatiran Kak Ardi.

"Ra, ambisimu ga akan mati kalo kamu istirahat, sebaliknya kamu yang bisa kenapa-kenapa kalo kamu ga istirahat. Seperti sekarang, dan kakak gamau itu. Istirahat sebentar, nanti kejar lagi ambisimu kalo kamu sudah sembuh, ya?", Kak Ardi mengelus lembut kepalaku.

"Aku cuma takut tertinggal aja kak dari yang lain, progres, hidup semua", kataku sambil mengunyah kentang yang masih saja hambar di mulutku.

Kak Ardi menggeleng, "Ra, gausah semua kamu pikirin, otakmu tuh capek nanti. Lagian gaada yang ninggalin kamu. Kakak, Mama, Papa, di sini terus kok. Gaada yang ngejar atau nuntut kamu untuk melakukan apa pun, pelan-pelan aja".

Aku mengangguk. Mungkin benar aku butuh istirahat. Aku di sini juga mungkin karena sebulan terakhir aku mengusahakan semuanya untuk ambisi yang aku tak tahu kapan habisnya.

Hirup kota ini adalah ambisi. Rasanya aku akan tertinggal jika aku berhenti ketika melihat gemerlap kota ini beserta isinya tidak berhenti bekerja. Aku lupa bagian pentingnya, tidak ada yang sedang mengejarku. Aku lupa untuk ikut menghirup napas ku, mengambil jeda. Aku lupa, waktu adalah milikku bukan jutaan orang lain yang tinggal di gemerlap kota ini.
Share:

Senin, 12 Oktober 2020

Melawan Doa dengan Doa.

Aku dituntun oleh Dikta dan Alan masuk ke dalam ruangan yang entah apa isinya. Mataku tertutup kain. Kaki meraba lantai, terus menabrak sesuatu entah apa di bawah. Begitu kain di mataku dibuka dan masih beradaptasi mulai terdengar riuh tepuk tangan dan lagu selamat ulangtahun yang aku juga tak tahu siapa pengarangnya.

Aku tersenyum. Begitu melihat teman-temanku di ruangan itu. Adrian memegang kue dengan lilin yang menyala. 

"Tiup lilinnya, Ray", seru Adrian.

Masih diiringi lagu selamat ulangtahun, aku berdoa, lalu meniup lilin itu, diiringi tepuk tangan dan senyum manusia satu ruangan.

"Kalian apa sih? Udah bukan anak kecil kali pakai surprise segala begini", kataku sembari menerima pelukan Tara.

"Ga apa-apa kan, Ya, sekali-kali", Tara cemberut sembari merangkul lenganku.

"Benar, kata Tara, Ray, ga apa-apa lagi, kita cuma mau liat lo bahagia", Dikta menimpal.

"Betul. Panjang umur, ya, Raya, sehat selalu, bahagia selalu", Adrian tersenyum mengusap kepalaku.

Senyumku hilang sesaat setelah Adrian menyelesaikan kalimatnya. Namun buru-buru kuganti dengan senyum yang lain.

"Iyaa, aamiin", lanjutku untuk setiap doa-doa yang mereka panjatkan untukku.

"Tadi pas mau tiap lilin kamu make a wish dulu kan, Ya?", celetuk Alan.

"Iya lah, emang lo ga liat apa? Keasikan nyanyi sih ya lo?".

"Enak aja. Habis, lo cepet bgt doanya".

"Ngapain lama-lama, gua kan ga banyak mau".

"Ya, emang kamu minta apa?", tanya Tara. Matanya berbinar.

Aku diam sebentar. "Ra-ha-si-a", aku tersenyum jahil, dan segera mengalihkan ke topik lain, "mau ngobrol terus apa mau lanjut makan kue nih?".

"Oiya, Ray, ayo potong, kue spesial buat kamu yang ga suka manis pilihan aku", Tara mengucapkannya dengan bangga, dan merangkulku kembali.

Aku lega mereka tidak lagi membahasnya, harapanku itu.

Adrian mengangkat gelas berisi cola mengajak bersulang, "untuk Raya, umur yang panjang, dan persahabatan yang langgeng". Disambut dentingan gelas kami.

Aku tersenyum, melihat satu per satu wajah berseri sahabat-sahabatku ini. Aku rasanya tidak mau mengecewakan mereka. Aku menghela napas memikirkan setiap doa yang mereka semogakan untukku hari ini, selama ini.

"Panjang umur. Harapan", gumamku.

Aku tak bisa bilang tentang doaku sebelum lilin itu kutiup. Karena doa-doaku hampir selalu bertentangan dengan mereka.

Panjang umur, sehat selalu. Kalimat itu berdengung terus menerus di kepalaku. Bagian paling ironisnya adalah yang aku semogakan justru sebaliknya. Sebelum lilin itu kutiup, atau bahkan setiap malam sebelum tidur, setiap subuh, dan setiap petang aku berdoa, "Tuhan tolong hilangkan saja aku dari Dunia, apapun caramu".
Share:

Sabtu, 10 Oktober 2020

Self-Reflection: 24.

The privilege of a lifetime is to become who you truly are (Carl G. Jung).

***

Dear self, stay with me for another year, I'm not finish loving you. 

As we grow old, I realize loving ourselves is the most luxury thing we can ever have. That time we can finally be proud and smile while telling yourself "I love myself more, no one can ever stop me" is the highest place we can ever stand. It's something seems easy but impossibly hard to reach.

I'm alone keep going back and forth when trying to reach it. Keep having love-hate-hate relationship with myself, no lie. Self love is luxury, when everything keep crashing down day by day. Like, wow, life's so cruel. Life's hard, but should we be hard on ourselves too?. It always such a privilege to have that unconditional love of self.

In this chaotic condition I think loving myself will be everything I need for now to keep my sanity on track. Not gonna lie I'm still so far to take that crown. Just this past 3 months alone part of myself constantly shouting I hate myself everytime I open my eyes. The storm inside me just keep raging without I even know how to shut it down. My head is dangerous, let alone the whole part of myself. I have all those worst scenarios and wishes. It's hard to just recognize the form of loving myself. How it feels like? I've been longing for it. Because wow it's always feel suffocating here.

Every people have something to calm themselves from the storm they are in. It could be anything; songs, books, words, drinks, foods, pets, or even nature. As for me, strolling around would do the trick. But, since the condition still not good enough to let me out to have my random walk, my coping mechanism isn't working well. So, I back to some songs and this one book that could help me keep walk on the storm that still raging. And I let some of my energy out to write something. So after all the process did I finally come to love myself? Hahaha, no, I just realize that it's important. I still so far to be claimed I love myself. I still beat myself for many things, hate myself for my flaws, overthink all the things have happened. But as I finally have the courage to release all this words, I know I'm learning to love more. Take step by step again and again to claim that luxury thing.

Though I'm still so far, just for today (at least) I want myself to be free (even a bit) to take the universe blessings as a gift for myself. Let it give every good things, because myself can't resist anymore. Taking more rest than I deserve. Fill my self with more love than I ever give before. Embracing whatever color that I have than I ever did. Blessed day, self, universe still loves you. It gives you another chance to try.

To end this words, I believe one thing, maybe not everyone want to stay with you, but your own self will always stay. Treat yourself well. #24

Happy world mental health day, everyone!
Share: