"Res, belum masuk kelas?", Adnan membersamai langkahku di koridor.
Aku menoleh dan sedikit memperlambat langkahku, yang sedang terburu-buru menuju kelas, agar sejajar dengan Adnan, "tadi dari kantin cari teh hangat, perut gua perih dari pagi. Lo dari mana, Nan? Ini udah bel dari tadi ya?".
"Kalem, Res, baru bel kok. Gua habis dari fotokopian", Adnan mengulurkan tangan dan tersenyum, "lari ke kelas?".
Aku mendelik sembari berhenti sebentar menatap Adnan bingung, "kelas kita sekarang beda arah, Nan".
Adnan tertawa, "iya beda arah, tapi sampai koridor ini habis masih satu arah, kan?", Adnan mengusap kepalaku, lalu mengulurkan lagi tangannya.
Aku mengangguk dan meraih uluran tangan Adnan, lalu kami berlari menuju kelas kami.
"Gua bisa lari sendiri kok, Nan", aku menoleh ke Adnan. Bingung dengan keputusanku sendiri setelah meraih tangannya.
"Langkah gua lebih besar daripada lo, Res. Lagian katanya perut lo lagi sakit, tapi gua tau lo gamau telat masuk kelas kan? Jadi gua temani takut lo kenapa-kenapa di jalan, udah sepi nih".
Aku mengangguk. "Lo ga takut telat?".
Adnan mendelik dan tertawa kecil, "gua, Res? Lo tanya gua takut telat masuk kelas apa ngga? Lo nanya pertanyaan retoris, Res. Guru lo siapa emang sekarang?".
"Pelajaran fisika gurunya ngga galak tapi tegas, ga enak juga kalo telat, minggu lalu beliau sempet marah masalah tugas, takutnya masih diungkit di minggu ini".
"Tenang baru bel masuk, gua yakin guru lo belum masuk kok, Res".
Adnan menghentikan langkahnya ketika sampai di ujung koridor, lalu mengusap kepalaku sekali lagi, "sudah sampai. Gua ke kiri, hati-hati naik tangganya ya, Res. Sampai ketemu lagi nanti, cepat sembuh".
Adnan tersenyum lalu meninggalkan aku menuju kelasnya. Sembari berjalan kusempatkan untuk menoleh sebentar ke belakang melihat Adnan pergi.
Melepasnya adalah salah satu penyesalan terbesarku, tapi hari ini aku lega, setelah hari itu senyumnya kembali dan tetap menjadi Adnan yang kukagumi.
Begitu aku bangun butuh beberapa menit untuk sadar bahwa kejadian barusan tidak nyata. Bahwa penyesalannya ternyata masih ada. Tapi melalui mimpi ini aku teringat sekaligus belajar memaafkan diri sendiri, karena ternyata aku pernah, setidaknya sedikit, melakukan hal baik untuk Adnan.
Hal baik sesederhana menjajari langkahnya, meraih tangannya, dan menoleh sebentar melihat ia pergi dengan senyumnya.
Setelah ratusan hari dari terakhir kali kamu mampir ke mimpiku, semalam kamu menyapaku lagi, Nan. Bukan dengan senyum sedihmu, kali ini dengan senyum yang selalu membuatku mengagumimu kala itu. Bersama uluran tanganmu kamu tersenyum kepadaku, Nan. Terima kasih.