Hari ini aku memilih untuk pergi menemani ayah ke kampung halamannya. Kali ini aku mengalah untuk tidak ikut pergi berlibur dengan teman-temanku. Entah, aku tidak tahu apa yang merasuki ku, padahal ayah pun tak masalah jika aku tidak ikut pergi dengannya.
Pesawatku tiba di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II pukul 18.38 waktu setempat. Terlambat satu jam dari waktu yang diperkirakan, akibat delay. Baru saja turun dari eskalator handphone-ku dihujani belasan pesan.
"REES LO DI PALEMBANG??", Ian tanpa ampun memborbardir pesan di handphone-ku.
Aku heran. Lupa kalau aku sempat update twitter sebelum take off tadi. "Iya, elah, kenapa? Baru landing gua".
"DIMANA???", Ian terus memburu jawaban dariku, "GUA DI PALEMBANG JUGA".
Terjawab sudah keherananku. "Mau ambil bagasi. Capslock lo jebol ya? Santai aja. Terus kenapa kalo lo di Palembang juga?"
"KETEMU SEBENTAR GUA KANGEN".
"Ngigo ya lo? Baru juga libur semester satu minggu. Baru satu minggu ga ketemu, Ian".
"GUA TETEP KANGEN. BURU! GUA DI BANDARA JUGA".
Aku melongo. Entah karena tau dia sedang di Bandara juga atau karena dia rindu denganku padahal belum lama bertemu. "Hah? Lo baru sampai sini juga? Kita di penerbangan yang sama?", tanyaku masih sangat bingung.
"BUKAN. Mau balik Jakarta nih, gua lagi nunggu boarding. CEPET AYO KETEMU SEBENTAR, RESSS!".
Aku menggelengkan kepala, masih berusaha mencerna cerita ini. Namun, aku memutuskan untuk menyutujui pertemuan aneh di Bandara ini. "Ketemu dimana, gua izin sebentar sama ayah", balasku.
"GUA TELEPON!".
Selanjutnya aku terus berlari kesana kemari berusaha mencari Ian, sampai akhirnya ayah meneleponku bahwa paman sudah menunggu kami di Parkiran.
"Ian, sorry, jemputan gua udah nunggu dari tadi, ketemu lagi di Jakarta ya. Safe flight :)". Bagian membingungkannya lagi aku mengirim pesan itu sambil menelan kekecewaan.
"Gua juga udah mau boarding, have fun here ya, Res. See you".
Setelahnya aku berusaha mencerna semua rencana semesta barusan. Orang yang paling aku tunggu pesannya seminggu terakhir ternyata bukan hanya mengirimiku pesan hari ini, Ia merindukanku dan berada di kota yang sama.
Sekarang aku berpikir, apa jadinya jika kemarin aku memutuskan untuk tidak ikut pergi dengan ayah? Apa jadinya jika pesawatku tidak delay? Apa mungkin rindu kami akhirnya bebas? Bagimana jika aku memutuskan untuk tidak bermain twitter hari ini? Apa Ian mungkin memutuskan untuk tidak mengirimiku pesan?
Namun ternyata semesta memang suka bercanda. Bagian paling lucunya dari semua ini, bahkan di Bandara yang sama serta di waktu yang sama, itu semua masih tak cukup untuk mempertemukan kita. Bahwa setelah cerita ini pun, ternyata kami tidak pernah diperuntukan bertemu di satu titik bahkan di hari-hari berikutnya.