Selasa, 01 Juni 2021

menyambung harapan.

"Del, Ara lagi asik sama dunianya sendiri lagi ya?", sayup-sayup aku mendengar suara dari luar earphone-ku. Entah dari siapa.

Mungkin bagi banyak orang apa yang aku kerjakan saat ini sama sekali tidak menguntungkan bagi masa depan. Menghabiskan waktu. Tapi bagiku setiap jeda seperti ini adalah bagian aku membangun masa depan. Setidaknya di waktu seperti ini aku sadar aku sedang menyambung harapanku untuk terus hidup.

Dulu pernah ada yg bertanya padaku, "Ra, kamu kenapa suka baca buku?".

Aku berpikir, "buku membawaku ke berbagai dunia yang tidak pernah aku lihat".

Tapi sekarang rasanya maknanya lebih kecil dari itu dan jauh lebih dekat dari itu. Setiap kata dan jalinan kalimat yang ada di dunia ini, sekecil apa pun itu, adalah penyambung harapan hidup untukku.

"Ra.... Hoy, Ara, mau sampai kapan duduk di sini? Pindah yuk cari makan, udah mulai rame nih", Dela menyikut lenganku agar aku sadar bahwa aku sudah terlalu lama tenggelam dalam duniaku.

Aku meringis, "hehe, sebentar Del, 10 menit lagi ya, ini 10 menit lagi kelar kok".

"Tadi nonton music video (mv) grup idola kesayangan, terus baca update terbaru komik favorit, sekarang lagi apa? Drama? Anime?", Dela menjawab panjang sambil menggelengkan kepala, tanda ia tidak habis pikir denganku.

Aku meringis lagi, "Anime, ini bentar doang kok, Dela sayang".

Dela duduk di sampingku. "Lagian lo kok bisa sih ga berhenti fangirling bahkan di tempat yang banyak orangnya gini? Ga malu?".

Aku melihat ke arah Dela sebentar, "kenapa malu? Gua senang kok, lagian mereka yang komplain mungkin gatau gua dapat apa dari apa yang gua kerjakan".

Dela mendelik, "emang lo dapat apa? Uang gitu?".

Aku tertawa kecil, "ya, ngga lah, Del. Seringnya gua dapat harapan baru buat gua terus hidup dan ga nyerah sama keadaan. Pendeknya gua dapat motivasi". Aku berdiri tiba-tiba, "gua udah kelar nih, sambil cari makan yuk".

"Lah, udah beres nontonnya?", Dela mengikuti aku.

"Udah nanti bisa lanjut dimana aja gua mah".

Dela menjajari langkahku, lalu melanjutkan, "lo nonton mv juga dapat hidayah gitu?".

Aku tertawa, "apa sih, Del, kok hidayah. Motivasi tau". "Tapi ya iya dong lagu kan ada liriknya, kalo gua nonton drama atau anime atau film kan ada dialognya ada jalan ceritanya, mv juga punya cerita dari liriknya, kalo gua baca komik sama aja kan gua baca dialog sama cerita, Del", lanjutku panjang.

"Sama aja sih, Del, kalo gua baca buku, kadang ada aja kan motivasi dari kalimat yang gua baca. Karena menurut gua semua cerita, kata, dan kalimat yang ada di dunia ini tuh bisa jadi motivasi, hiburan, bahkan penyambung hidup kalo lagi ngerasa sedih", lanjutku lagi.

Dela mengangguk. Lalu melihatku menyelidik, "kalo lo sampai tenggelam gitu berarti lo lagi butuh banyak mitovasi hidup gitu, Ra?".

Aku tertawa sambil menyikut Dela, "sialan lo, Del, peka banget sih".

Dela tersenyum lembut, "gua ga masalah kok, Ra, lo sama dunia lo, cuma mau ngasih tau aja, kalo lo masih belum ngerasa cukup dengan apa yang lo dapat di dunia lo, gua siap berbagi juga sama lo dunia gua".

Aku tersenyum dan langsung merangkul Dela, "dengan senang hati, Delaku. Biarpun lo ga bakal sebijak "kesayangan-kesanyangan" gua sih, Del".

Dela tertawa, "sialan. Bangun, oy, Ra, jangan halu mulu".

Aku tertawa.

Tak apa kalau banyak dari mereka yang tidak mengerti apa makna dari pekerjaan yang kulakukan. Setidaknya aku bisa tetap hidup sebagai aku.


Share:

Senin, 25 Januari 2021

Ratusan Hari setelah Kehilangan

"Res, belum masuk kelas?", Adnan membersamai langkahku di koridor.

Aku menoleh dan sedikit memperlambat langkahku, yang sedang terburu-buru menuju kelas, agar sejajar dengan Adnan, "tadi dari kantin cari teh hangat, perut gua perih dari pagi. Lo dari mana, Nan? Ini udah bel dari tadi ya?".

"Kalem, Res, baru bel kok. Gua habis dari fotokopian", Adnan mengulurkan tangan dan tersenyum, "lari ke kelas?".

Aku mendelik sembari berhenti sebentar menatap Adnan bingung, "kelas kita sekarang beda arah, Nan".

Adnan tertawa, "iya beda arah, tapi sampai koridor ini habis masih satu arah, kan?", Adnan mengusap kepalaku, lalu mengulurkan lagi tangannya.

Aku mengangguk dan meraih uluran tangan Adnan, lalu kami berlari menuju kelas kami.

"Gua bisa lari sendiri kok, Nan", aku menoleh ke Adnan. Bingung dengan keputusanku sendiri setelah meraih tangannya.

"Langkah gua lebih besar daripada lo, Res. Lagian katanya perut lo lagi sakit, tapi gua tau lo gamau telat masuk kelas kan? Jadi gua temani takut lo kenapa-kenapa di jalan, udah sepi nih".

Aku mengangguk. "Lo ga takut telat?".

Adnan mendelik dan tertawa kecil, "gua, Res? Lo tanya gua takut telat masuk kelas apa ngga? Lo nanya pertanyaan retoris, Res. Guru lo siapa emang sekarang?".

"Pelajaran fisika gurunya ngga galak tapi tegas, ga enak juga kalo telat, minggu lalu beliau sempet marah masalah tugas, takutnya masih diungkit di minggu ini".

"Tenang baru bel masuk, gua yakin guru lo belum masuk kok, Res".

Adnan menghentikan langkahnya ketika sampai di ujung koridor, lalu mengusap kepalaku sekali lagi, "sudah sampai. Gua ke kiri, hati-hati naik tangganya ya, Res. Sampai ketemu lagi nanti, cepat sembuh". 

Adnan tersenyum lalu meninggalkan aku menuju kelasnya. Sembari berjalan kusempatkan untuk menoleh sebentar ke belakang melihat Adnan pergi.

Melepasnya adalah salah satu penyesalan terbesarku, tapi hari ini aku lega, setelah hari itu senyumnya kembali dan tetap menjadi Adnan yang kukagumi.

Begitu aku bangun butuh beberapa menit untuk sadar bahwa kejadian barusan tidak nyata. Bahwa penyesalannya ternyata masih ada. Tapi melalui mimpi ini aku teringat sekaligus belajar memaafkan diri sendiri, karena ternyata aku pernah, setidaknya sedikit, melakukan hal baik untuk Adnan.

Hal baik sesederhana menjajari langkahnya, meraih tangannya, dan menoleh sebentar melihat ia pergi dengan senyumnya.

Setelah ratusan hari dari terakhir kali kamu mampir ke mimpiku, semalam kamu menyapaku lagi, Nan. Bukan dengan senyum sedihmu, kali ini dengan senyum yang selalu membuatku mengagumimu kala itu. Bersama uluran tanganmu kamu tersenyum kepadaku, Nan. Terima kasih.
Share: