Aku berdiri di dekat pintu masuk kamarnya. Enggan masuk lebih dalam, namun enggan juga untuk keluar.
Sore yang hangat. Matahari mulai turun, dan langit mulai berdenyar jingga. Tidak ada hujan sore ini. "Alhamdulillah, langit berpihak pada kami hari ini", ujarku dalam hati.
Hari ini empat sekawan berkumpul lagi di satu tempat. Aku tersenyum. Aku bersyukur melihat kami yang sudah sangat jauh dipisahkan oleh waktu, kembali bersama lagi di waktu dan tempat yang sama.
"Lo ngapain berdiri di situ aja, Pras?", ujar Theo melihatku yang belum beranjak dari depan pintu.
"Oh, engga, gua mikir akhirnya kita kumpul lagi ya. Bersyukur walaupun tetap sedih. Udah lewat banyak masa kita".
Kita tertawa, tapi tetap hilang satu suara. Agga.
Mata kami menatapnya. Sudah lama tidak bertemu, Ia tidak banyak berubah. Bahkan sampai sekarang Agga yang masih mempersatukan kami di kamar rawatnya, biar pun kami telah terpisah ribuan mil jauhnya. Akhirnya waktu membersamai kami.
Kami bertiga masih menatap Agga dalam diam, tapi mungkin kami mengucapkan kalimat yang sama dalam pikiran kami, "seandainya di waktu sebelum ini kami sempatkan bertemu kembali biar pun hanya sebentar, di mall dekat rumah, di kota tempat singgah. Seandainya kami sempatkan waktu untuk saling menyapa sebentar, apakah semua akan berubah? Apakah penyesalan ini sedikit berkurang?".
"Agga, cepat bangun, kami rindu. Ayo, kumpul lagi berempat di kedai kopi favoritmu", aku tersenyum sambil mengusap kepala Agga, "dan maafkan kami baru bisa berkumpul sekarang".